Kamis, 20 Mei 2010

KAUM MUDA

KAUM MUDA TULANG PUNGGUNG GEREJA

FX. SAMSON

Kaum muda adalah tulang punggung dan harapan di tengah masyarakat dan dalam Gereja. Kaum muda adalah realitas hari ini bukan sekedar harapan untuk hari esok, mereka adalah sumber energi dan vitalitas bagi keberadaan masyarakat dan Gereja dari waktu ke waktu. Kekuatan dan keberadaan mereka yang esensial itu menuntut adanya perhatian khusus dari pihak-pihak pemerhati kaum muda yaitu para orang tua, negara dan Gereja. Seperti yang diungkapkan Dokumen Konsili Vatikan II dalam deklarasi pendidikan kristen Gravissimum Educationis (GE)

Perlu disadari bahwa dalam proses kreatif, jiwa, darah, semangat dan gejolak muda tidak jarang menjebak mereka pada sikap dan tindakan yang kurang tepat, karena gejolak mudanya yang emosional dan sulit diatur, sering kali tidak terkontrol. Namun orang muda butuh pengalaman, dalam usia mudanya ia menggunakan segenap kemampuan dan talentanya yang sedang dicari dan dikembangkan, mereka terus mencoba dan berjuang dengan semangat mudanya. Di sinilah kehebatan sekaligus jebakan yang sangat membahayakan bagi kehidupan mereka selanjutnya. Kaum muda berjiarah bersama jaman, mereka berlari secepat waktu yang terus berlalu, bila tidak demikian mereka akan dikatakan ketinggalan jaman. Mereka masih lemah dan rapuh serta seringkali dikorbankan oleh struktur-struktur penindasan dalam dunia dewasa ini.

Situasi kaum muda hendaknya dipahami dari berbagai realitas kompleks, dan latar belakang kehidupan mereka di tengah dunia dimana mereka hidup. Berbagai bentuk perubahan yang cepat dan drastis dalam segala bidang kehidupan, bidang kebudayaan, politik, sosial ekonomi, serta ledakan media massa, secara radikal berdampak bagi kehidupan kaum muda diseluruh penjuru dunia. Kaum muda dengan segala macam latar belakang, kaya dan miskin, kota dan desa, terpelajar dan bodoh, bekerja atau menganggur, terorganisasi atau tidak terorganisasi, semuanya sedang terombang ambing oleh gelombang kebudayaan kontemporer. Memahami dan menyikapi situasi dan kondisi kaum muda perlu diusahakan penanganan yang ekstra, oleh para orang tua, negara dan Gereja.

Pesoalan sekarang ialah, bagaimana membuat kaum muda mempunyai Roh yang mampu menggiring mereka kepada harapan dan cita-cita para orang tua, masyarakat dan Gereja. Roh tidak dibatasi oleh ruang, dan kaum muda memiliki roh yang sangat kuat dan sanggup menghantam segala rintangan demi tujuannya, cita-citanya dan harapannya. Tugas para orang tua, masyarakat dan Gereja untuk memberi ruang gerak, mendidik, mengarahkan bagi kekuatan roh yang sudah mereka miliki, agar mereka mampu menjadi peribadi-peribadi pembangun yang handal.

Gereja secara khusus telah berusaha dengan segala daya upaya memberikan pendampingan kepada kaum muda dengan berbagai bentuk pendampingan kategorial kaum muda. Secara sederhana dapat dirumuskan tujuan pelayanan pembinaan kaum muda dalam Gereja dengan dua kata “kedewasaan iman” artinya bahwa Kristuslah yang menjadi sumber dan tujuan serta tolak ukur dari kewasaan tersebut.

Hendaknya Roh yang mereka miliki adalah Roh Kristus. Roh Kristus itulah yang menjadi pendorong gerakan kaum muda dalam kaitannya dengan peranan mereka di tengan masyarakat dan dalam Gereja. Di atas telah dikatakan bahwa orang muda berjiarah bersama waktu dan berlari secepat waktu. Memahami situasi ini berarti memahami apa yang harus dilakukan Gerja khususnya dan pendamping/pemerhati kaum muda pada umumnya. Berlari bersama kaum muda bukan berarti mengawasi, mendeteksi atau membatasi gerak langkah kaum muda. Tantangan para orang tua, masyarakat dan Gereja serta pemerhati kaum muda dewasa ini ialah bagaimana memformat pendampingan yang relevan dengan kebutuhan kaum muda sekarang.

Secara konseptual pendampingan perlu diarahkan pada dua aspek yaitu aspek pengembangan iman menuju kedewasaan iman dan aspek pengembangan hidup sosial kaum muda. Pendampingan kaum muda hendaknya mengarahkan mereka untuk melihat dan menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi disekeliling mereka. Kedua aspek tujuan pendampingan kaum muda menyangkut dua dimensi fundamental, yaitu demensi vertikal berkaitan dengan relasi dengan Allah sebagai Bapa dan dimensi horisontal berkaitan dengan relasi terhadap sesama.

Jadi jelas bahwa kedewasaan iman yang diharapkan untuk diarahkan kepada kaum muda bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Allah dalam pelaksanaan kegiataan ibadat seputar altar saja, tetapi menyangkut semua segi kehidupan manusia seutuhnya, yaitu relasi yang harmonis dengan Allah Bapa dalam putra-Nya Yesus Kristus sebagai Roh yang memberi kekuatan dan dinyatakan dalam hidup dengan sesama baik dalam komunitas kecil “keluarga” maupun komunitas dalam masyarakat yang lebih luas.

Berbagai metode dan serategi pembinaan kaum muda adalah usaha untuk menjawab tantangan Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis(GE) bahwa yang bertanggungjawab atas pembinaan dan pendidikan kaum muda ialah para orang tua, negara dan Gereja. Ketiga lembaga ini harusnya bergandeng tangan untuk menjadikan kaum muda sebagai manusia dewasa yang mampu berdiri sendiri dan bertanggung jawab serta berguna bagi sesama dan masyarakat sebagai perwujudan cinta kepada Kristus.

Pertanyaan yang perlu menjadi refleksi sekarang ialah sanggupkah para orang tua, negara dan Gereja menjadikan kaum muda ibarat air? yang mampu memeberikan manfaat, kesejukan, kenikmatan, dan kepuasan saat meneguknya. Bisakah para orang tua masyarakat dan Gereja dapat dilebur bersama uniknya kaum muda sehingga menjadi dinamis dengan karya kritis dan produktif laksana air sungai yang mengalir terus? Ataukah para orang tua, masyarakat dan Gereja akan menjadi bumerang yang akan menelan kreatifitas dan kesanggupan kaum muda dalam mencapai pribadi-pribadi yang mandiri dan matang bagi kehidupan Gereja dewasa ini.

Sesungguhnya Gereja kaum muda yang efektif adalah Gereja kaum muda yang berkontribusi bagi sesamanya, tidak diam! air diam akan menjadi kotor dan menjadi sumber penyakit, lain halnya dengan mengalir. Gereja yang berguna adalah Gereja yang sanggup bersosial dengan sesamanya dan alam sekitarnya. Kehadirannya memberikan kenyamanan dan kenikmatan bagi masyarakat disekitarnya jauh dari prinsip homo homini lupus bahkan dirindukan selalu hadirnya (77X7X).

STKIP WINA Mahasiswa Fakultas Pendidikan Teologi (Guru Agama Katolik)

Di terbitkan pada Majalah BERKAT (Keuskupan Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar