Minggu, 22 Agustus 2010

KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELEGIUS

“BERJUANG MELAWAN ARUS ZAMAN”
KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELEGIUS

Keluarga Kristiani
Konsili Vatikan II menamakan keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja rumah tangga). Sebagai Gereja mini, keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya dalam hal ini adalah anak-anak. Bekal iman yang dimaksud yaitu mengenal Gereja dan menghayati nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar untuk membangun Gereja secara universal. Bekal iman bisa diberikan lewat pendidikan oleh keluarga itu sendiri dan oleh lembaga-lembaga yang disediakan untuk membantu tugas itu. Gereja sungguh menyadari keterbatasan pengetahuan orang tua untuk menunaikan tugas yang berat dan mulia itu. Oleh karenanya disediakanlah sekolah-sekolah Katolik untuk membantu tugas orang tua dalam memenuhi tanggung jawabnya.
Pendidikan iman yang dimaksud yakni berusaha menmberikan semua hal yang dibutuhkan anak-anak untuk mencapai kedewasaan pribadi secara kristiani. Orang tua perlu mengajarkan bahwa betapa dalam dan besarnya cinta kasih Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Orang tua membimbing dan membantu mereka untuk menghayatinya, menjadikan nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya.
Inilah panggilan khas keluarga Kristen, mereka menyadari dan mengamalkan panggilan Tuhan. Maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati. (bdk.Ef 1:1-4).
Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai Gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis: ”Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.
Apakkah masih relevan Gereja disebut tubuh Kristus? Selama kebencian masih bersarang di dalam tubuh keluarga, maka Kristus tidak pernah tinggal di dalamnya. Dengan demikian apa yang harus dilakukan oleh keluarga yakni berdoa dan trus berusaha mengembangkan cinta serta mohonlah kepada Tuhan untuk tinggal didalamnya, memberkati dan melindungi.
Dewasa ini Banyak keluarga tidak lagi menjadi Gereja mini, tetapi menjadi medan perang dalam Gereja dan dunia. Perceraian antara suami – istri yang marak akhir-akhir ini selalu mengorbankan anak-anak. Mereka harus memilih hidup hanya dengan ayah, atau hanya dengan ibu, atau tidak kedua-duanya. Dengan demikian mereka akan kehilangan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan dan rasakan dari kedua-duanya. Keluarga menjadi tempat tumbuh subur kebencian, iri hati, persaingan, curiga, dll, yang akhirnya menghasilkan keluarga-keluarga yang hancur. Banyak orang dalam keluarga menjadi gelisah, putus asa, tidak berprikemanusiaan, depresi, tidak punya semangat hidup, stress, dll.
Miris rasanya mendengar berita seorang ibu yang tega menggorok leher anaknya yang baru berusia 14 hari dengan pisau dapur. Akibat perbuatan ibu yang demikian, anak yang tidak berdosa harus menjadi korban. Berita serupa dari desa Tempeh Lor, kecamatan Tempeh, Lumanjang didapati seorang ibu yang gelap mata, karena terlilit hutang. Dia mengajak dua putrinya bunuh diri dengan minum racun tikus. Berdasarkan dua berita baru tersebut kita menemukan bukti bahwa keluarga-keluarga telah mengalami krisis cinta. Keluarga tidak lagi menjadi tempat tumbuhnya cinta, tetapi menjadi tempat tumbuhnya kebencian. Keadaan ini memperihatinkan kita semua dan butuh usaha bersama untuk memperbaikinya. Keluarga Kristen juga dipanggil untuk berperan aktif menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Panggilan Hidup Relegius
Semenjak seseorang lahir di dunia. Ia diajak untuk menyemarakkan alam semesta. Dengan demikian, baginya disampaikan panggilan agung, yaitu panggilan hidup sebagai manusia. Artinya, dia diajak untuk memenuhi suatu seruaan agar menjadi manusia sebaik mungkin. Apa yang dimaksud dengan manusia sebaik mungkin? Dalam hidup manusia, ia didorong untuk mengikuti kodrat hati dan budinya. Dalam proses, kodrat lebih kuat mendorong, lama kelamaan hati dan budi semakin terpengaruh. Hati dan budi itulah yang membantunya untuk memahami hidup sebaik mungkin, hidup yang terarah kepada kehendak Allah.
Orang-orang yang telah menerima sakramen permandiaan dikuduskan oleh kelahiran kembali dalam Roh. Ia menjadi tempat kediaman rohani dan tempat suci. Sebagai anggota tubuh setiap orang wajib hidup sebagaimana Putra-Nya, Yesus Kristus. Dengan demikian, permandian yang kita kenal dalam teradi Gereja Katolik merupakan sarana yang membuat seseorang dilahirkan kembali dari roh. Permandiaan adalah dasar semua panggilan di dalam Gereja. Melalui panggilan itu, manusia mendapat tugas dan peran yang berbeda sesuai dengan anugrah Allah. Tuhan memanggil sebagian dari kita untuk mengabdikan diri secara istimewa sebagai imam, biarawati dan anggota Ordo atau Tarekat Religius.
Ada kisah menarik dalam Kitab Suci tentang seorang anak muda yang dipanggil Tuhan, namanya Samuel. Oleh orang tuanya ia dipersembahkan untuk melayani Tuhan di Silo dalam pengawaasan imam Eli. Pada waktu Samuel dipanggil ia belum mengenal Tuhan. Samuel tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, karena itu ia datang kepada imam Eli. Berkat bantuan imam itu, Samuel menjawab panggilan Tuhan dengan mantap. Katanya “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:10). Sejak panggilan itu, Samuel sering menerima firman Tuhan di Silo. Seluruh Israel mengenalnya sebagai nabi, imam dan hakim terakhir Israel.
Sama seperti Samuel, Tuhan pun memanggil semua orang untuk tugas khusus, teruma untuk menyatakan firman-Nya di tengah dunia. Untuk itu yang dibutuhkan ialah peka terhadap panggilan Tuhan dan terbukalah terhadap pertolongan orang lain disekitar kita.
Panggilan religius tidak dipisahkan dari peran keluarga. Keluarga dibutuhkan untuk membantu seseorang mengenal Tuhan dan mengimani-Nya. Setiap keluarga Kristen dipanggil untuk mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah dalam keluarganya. Panggilan di sini memang lebih ditekankan pada suatu panggilan khusus dalam Gereja seperti menjadi imam, biarawan dan biarawati. Justru dalam keluargalah panggilan-panggilan semacam ini tumbuh.
Samuel dilahirkan dari keluarga yang mencintai Tuhan dan mematuhi hukum-hukum-Nya. Dalam Kitab Suci ditunjukkan mengenai ketatan Hana dan Elkana, orang tua kandung nabi Samuel. Ziarah dan kurban tahunan Elkana dan Hana memperlihatkan bahwa mereka layak sebagai orang tua dari anak yang dikasihi Tuhan. Demikian juga yang diharapkan dari keluarga-keluarga kristen. Panggilan khusus sebagai biarawan dan biarawati harus dihormati oleh setiap keluarga. Keluarga kristen seharusnya merindukan dan selalu mendoakan agar panggilan ini ada dalam keluarganya.
Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam amanatnya pada hari doa sedunia untuk panggilan bahwa setiap orang tua hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menanggapi secara terbuka rahmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka apabila Tuhan memanggil salah seorang putera/putrinya menjadi imam atau suster. Rahmat semacam ini haruslah selalu dimohon dalam doa dan diterima secara aktif dengan cara memberikan pendidikan yang memungkinkan bagi anak-anak, terutama anak muda. Hendaknya mereka selalu mendukung anak-anaknya yang membuka diri terhadap panggilan hidup relegius. Jangan sekali-sekali menghalangi mereka. Suasana keluarga yang baik akan memungkinkan tumbuhnya benih panggilan. Panggilan tidak akan tumbuh dalam keluarga yang diwarnai oleh konsumerisme, hedonisme dan sekulaisme.
Berjuang Melawan Arus Zaman
Seperti telah dikemukakan pada bagian awal, bahwa keluarga dewasa ini mengalami krisis cinta. Keluarga-keluarga hidup dalam dunia yang mendewakan sek, hedonis dan materialis. Dengan demikian tantangan keluarga sebagai tempat bersemainya tradisi religius semakin berat. Keluarga-keluarga harus mampu bersaing dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti TV, internet dan HP yang berkembang begitu cepat. Hal ini mestinya semakin disadari dan di imbangi, sebab keluarga tidak mungkin lari dari padanya, tetapi keluarga-keluarga bisa mengatasinya dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran iman kristiani.
Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Di tengah dunia dewasa ini yang begitu sekular, pendidikan iman merupakan bekal penting untuk menjaga anak-anak agar tidak terbawa arus kemajuan zaman. Melalui pelayanan pendidikan dan melalui kesaksian pribadi, orang tua bagi anak-anaknya adalah bentara pesan cinta Injil yang pertama. Orang tua berdoa bersama-sama dengan anak-anak, membaca sabda Tuhan dengan mereka, dan memperkenalkan mereka kepada Tubuh Kristus melalui Ekaristi dan Gereja. Dengan cara demikian ini keluarga menciptakan kehidupan yang diwarnai iman dan cinta kasih yang menjadi ciri dari keluarga sebagai Gereja mini. Masing-masing keluarga hendaknya menjadi gereja Kecil tempat Yesus hadir dan kenisah tempat Roh kudus berdiam.
Berenang mengikuti arus ke mana sungai mengalir jauh lebih mudah dari pada harus berenang melawan arus sungai. Berenang mengikuti arus sungai bisa dikerjakan tanpa tenaga dan kerja keras, tetapi berenang melawan arus sungai dibutuhkan usaha keras dan perjuangan terus menerus tampa kenal lelah agar sampai pada tujuan yang dikehendaki. Ini suatu teori yang amat logis.
Tidak berbeda dengan kehidupan keluarga dewasa ini. Perkembangan zaman mengubah wajah dunia. Arus zaman membawa kita pada sikap hidup yang serba instan, membuat kita lebih bebas melakukan apa yang kita mau. Memang menyenangkan, tetapi juga harus dibayar mahal. Beberapa keputusan yang kita buat membawa dampak yang buruk. Biasanya dampak tersebut tidak terjadi seketika itu juga, namun lambat-laun dampak tersebut akan mendatangkan masalah yang serius bagi kita. Butuh perjuangan untuk melawan arus zaman yang berakibat buruk tetapi populer dan semua orang mendambakannya tanpa memikirkan akibatnya. Keluarga kristen dipanggil untuk melawan hal-hal yang membuat banyak orang semakin jauh dari Tuhan dan cinta-Nya. Keluarga kristen dipanggil untuk menumbuhkan benih-benih panggilan relegius dalam keluarga masing-masing.
Memilih hidup sebagai seorang biarawan atau biarawati pada zaman ini berarti memilih hidup yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang. Dewasa ini, hampir semua orang berusaha dan berlomba-lomba memilih kehidupan yang dipandang bisa membuat namanya disebut-sebuat sebagai orang yang hebat dan luar biasa. Apa yang menjadi pandangan umum itulah yang dipilih dan diperjuangkan banyak orang. Banyak orang begitu mendewakan seks, hedonis dan materialis. Berbeda sekali dengan pilihan hidup sebagai biarawan dan biarawati, mereka meninggalkan semuanya demi kerajaan Allah dan pelayanan kepada sesama. Pilihan hidup demikian mengingatkan kita bahwa ada banyak hal yang lebih penting dari hanya sekedar hidup. Hidup itu suatu perjalanan, bukan tujuan (77X7X).

Minggu, 08 Agustus 2010

CINTA KASIH ALLAH KEKAL ABADI UNTUK SELAMANYA

“CINTA ALLAH KEKAL ABADI

UNTUK SELAMA - LAMANYA”

Bersama Rm. Fransiskus Xaverius Heriyatno.SJ, sejumlah mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun melaksanakan kegiatan rettret tahunan yang dimaksudkan untuk memantapkan pilihan hidup menjadi pewarta kabar gembira Yesus Kristus sebagai katekis atau sebagai guru agama.

Rettret merupakan saat yang baik untuk berjumpa dengan Allah dalam keheningan dan kesunyian. Dalam situasi yang berbeda ini kita berusaha menemukan obat penawar kerinduan, kalau kita berjumpa dengan Allah maka didalamnya kita akan memperoleh cinta sejati, kegembiraan dan kedamaian oleh karena cinta Allah yang kekal abadi untuk selama-lamanya.

Matahari belum tenggelam, ketika acara rettret dimulai pada selasa 09 Februari 2010, pukul 16.30 di rumah rettret Panti Samedi Nasaret, Semarang.

waktu spesial segera dimulai, kata Rm. Heriyatno.SJ membuka session pertama, waktu spesial berarti, waktu untuk kita meletakan dasar sikap iman, kalau dasar iman sudah dipahami, maka pilihan hidup sebagai katekis adalah rahmat, panggilan yang harus terus menerus dimohonkan. Dan salah satu cara untuk memupuk spiritualitas hidup sebagai katekis ialah dengan menimba kekuatan Allah melalui perjumpaan dengan-Nya. Kegiatan rettret dalam beberapa waktu ini adalah salah satu caranya, tegasnya.

Jiwa kita butuh makan, bukan hanya tubuh saja yang perlu diberi makan, kalau jiwa kita tidak diberi makan, ia menjadi kosong, jika kosong, maka jiwa menjadi tidak berbeda dengan mayat yang berjalan, tanpa arah dan tujuan. Rettret juga dimaksudkan untuk memberi makan kepada jiwa, menemukan Allah yang sudah lebih dahulu mencintai kita tanpa syarat.

Melalui tokoh-tokoh dalam kitab suci kita bisa belajar banyak, harus diakui, bahwa dewasa ini tidak banyak kaum muda yang berani berkata lantang seperti Yesaya “Ini aku, utuslah aku” (Yes 6: 8), maka berbahagialah anda orang-orang muda yang bersedia menjawab panggilan Allah, entah dengan cara apa dan melalui peristiwa apa, yang terpenting adalah anda bersedia diutus kemanapun Allah mengehedaki.

Panggilan memang misteri, kita memahaminya tidak cukup hanya dengan rasio, tetapi lebih dari itu. Untuk memahami panggilan hidup yang kita jalani ini, kita membutuhkan “hati”, hati yang peka, hati yang terbuka, hati yang bersih dan hati yang penuh dengan kepasrahan secara total kepada rencana Allah. Abraham lebih memilih Ishkak daripada Ismael putra pertamanya. Ishkak berkeinginan memilih Esau, tetapi Allah ternyata mempunyai rencana yang lain, Yakub mendapat berkat dari Ishkak. Misteri panggilan dan pilihan Allah kerapkali membuat kita bingung, tetapi justeru itu yang dapat menguatkan kita orang-orang kecil dan lemah, orang-orang asing dan terpinggirkan menjadi kuat dan percaya, karena misteri panggilan dan pilihan Allah juga memberi gambaran pada misteri panggilan kita sebagai calon katekis, dengan demikian tidak ada lagi yang membuat kita takut dan khawatir. Percaya saja pada penyelenggaraan Allah.

YESUS ROTI HIDUP (YOH 6:51 – 58)

Lebih lanjut, Rm. Haryanto. SJ mengajak para peserta memahami Yesus sebagai roti hidup dan menyadari bahwa kita semua hidup karena roti yang turun dari surga. Allah berkehendak memberikan hidup abadi kepada umat-Nya di dalam Putra-Nya Yesus Kristus, Allah berkenan memberikan makanan sejati kepada umat manusia.

Sekarang Yesus memberikan dirinya melalui sakramen Ekaristi. Yesus menghendaki supaya peristiwa paska-Nya; wafat dan kebangkitan, menjadi jalan bagi keselamatan manusia dan senantiasa dirayakan dan dihadirkan yaitu melalui perayaan Ekaristi. Bagi umat beriman menyambut kehadiran Yesus dalam perayaan Ekaristi merupakan syarat supaya kita memperoleh hidup. Roti Tuhan yang kita terima dalam perayaan Ekaristi, bukanlah roti ajaib; kita minum anggur Tuhan itu juga bukan merupakan anggur kuat yang membuat kita secara otomatis menjadi lebih suci dan slamat. Yang diharapkan adalah hubungan timbal balik, kita menerima dan mengasihi-Nya, sebab Dia telah lebih dahulu mengasihi kita dengan memberi hidup dan nyawa-Nya demi keselamatan kita.

Namun agak sulit bagi kita memahami roti sebagai makanan, karena itu identik dengan makanan orang Eropa, maka beliau berikutnya memberikan penjelasan yang mudah dimengerti oleh para peserta – orang-orang Indonesia, yaitu dengan mengutip pemaparan seorang teolog dari Jepang; Masao Takenaka (1986). Untuk orang Jepang dan untuk orang Indonesia (Asia) kita lebih cocok mengatakan kalau roti hidup itu adalah “nasi”. Nasi merupakan bagian terpenting bagi hidup sebagian besar orang Asia, kita membutuhkannya setiap hari.

Untuk memperjelas pemaparan yang di ambilnya dari teolog terkenal dari jepang, maka romo yang berasal dari Gondang itu mengutup juga suatu puisi menarik bagi para peserta:

Surga adalah nasi

Seperti kita tidak dapat masuk surga sendirian

Kita harus saling memberi nasi untuk saudara-saidari kita

Dengan itu kita saling membagi terang surgawi

Kita harus membagi dan makan nasi secara bersama-sama

Surga adalah nasi

Ketika kita makan dan menelan nasi

Suarga berdiam di dalam tubuh kita

Nasi adalah surga

Ya, betul, itulah soal penting untuk nasi

Kita harus memakannya bersama-sama

Puisi ini memberikan gambaran terpenting bagi kita, terutama dalam membangun hidup commonio. Nasi surgawi dianugerahkan oleh Allah kepada kita semua, untuk hidup dan keselamatan kita. Dengan memakannya bersama-sama dengan adil dan penuh cinta kasih, kita dapat hidup dalam suasana harmonis dan damai. Tentu kita harus menyambut Yesus dengan penuh bakti dan syukur serta dengan semangat rendah hati, seperti sikap seorang perwira yang menyatakan “Tuan aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, tetapi katakan saja sepatah kata, maka aku akan sembuh (bdk. Mat 8:8).

YESUS AIR HIDUP (YOH 7:37 – 38 )

"Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup."

Kita diundang untuk menanggapinya, dan memang sabda undangan Yesus adalah sabda yang menyegarkan, memperkembangkan dan memberikan buah yang melimpah. Sebagai calon katekis, kita diharapkan sekaligus menjadi pendengar dan pelaksana sabda-Nya yang setia.

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran dan penyertaan Yesus, yang akan berkembang adalah cinta diri, dan itu sipatnya sangat sempit, berat sebelah dan bahkan dapat menghalangi perkembangan diri. Kalau terlalu sibuk dengan diri sendiri kita tidak dapat menemukan makna kristiani dari pergulatan hidup kita, wawasan menjadi sempit dan hidup menjadi hampa. Maka kita sungguh merindukan, mengharapkan dan membutuhkan bantuan Yesus.

Untuk itu Rm. Haryanto. SJ mengutip lagi amanat Kolumbanus yang turut menggemakan undangan Yesus sebagai berikut:

Saudara-saudari terkasih, dengarkanlah kata-kataku, bagaikan orang yang ingin mempelajari sesuatu yang pokok; lepaskanlah dahaga jiwamu dengan aliran sumber Ilahi. Tetapi jangan haus itu dipadamkan, minumlah, tetapi jangan menjadi puas; sebab sekarang ini sumber hidup, sumber air penghidupan memanggil kita dengan berkata “barang siapa haus, hendaklah datang kepadaKu dan minum”. Apa yang harus kamu minum? Yeremia akan menuturkan itu kepadamu, biar sumbernya sendiri yang akan mengatakannya kepadamu: ‘mereka sudah meninggalkan aku, sumber air hidup, sabda Tuhan’. Jadi Tuhan sendiri, Tuhan kita Yesus Kristus, adalah sumber hidup. Ia memanggil kita kepada-Nya, sang sumber, agar kita minum dari pada-Nya. Barang siapa cinta, ia minum dari pada-Nya; barang siapa telah dipuskan oleh sabda-Nya, telah menyembah secukupnya, dan telah mendamba, ia minum, demikian pula yang bernyala karena cinta akan kebijaksanaan.

Beginilah sepenggal kutipan yang disampaikan romo pendamping rettret kepada para peserta yang terdiri dari orang-orang muda, calon katekis, untuk membantu mereka lebih memahami makna roti Tuhan dan air Tuhan yang diberikan oleh Yesus untuk keselamatan jiwa dan raga.

KEKHASAN CINTA KRISTIANI

Untuk para calon katekis muda dan kelak akan berkarya dalam kehidupan masyarakat, baik kalau mereka diperkenalkan dengan arti mencintai, bukan sekedar itu, mereka harus belajar beberapa sifat khusus seni mencintai yang diajarkan oleh Yesus. Agar nanti, para katekis ini mampu memberikan cinta yang sejati; cinta Yesus, dalam pelayanan mereka kepada masyarakat untuk mengabarkan injil bagi banyak orang.

Cinta lekat dengan kehidupan kaum muda, tetapi cinta seperti apa? Ini yang perlu dipertanyakan dan dimurnikan.

Dalam hal ini, Rm. Haryanto, SJ selaku pembimbing rettret menawarkan suatu bentuk cinta yang tidak lazim di mengerti kaum muda, yaitu bentuk cinta yang dilakukan Yesus dengan kematian-Nya yang paling “hina” di kayu salib.

Mencintai Lebih Dahulu

Cinta Allah dalam Yesus dengan karunia Roh Kudus murni adalah tanpa jasa kita. agar kita pun tidak dipengaruhi oleh pamrih pribadi dan tidak mengharapkan apapun demi kepentingan pribadi. Cinta ini tidak hanya diberikan saat kita dicintai atau ketika ada motivasi yang lain, seperti biasa dalam persahabatan.

Cintailah terlebih dahulu, ambillah inisiatif. “Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19) dan kita harus berbuat demikian terhadap sesama kita, jangan menunggu untuk dicintai oleh orang lain, tetapi buatlah terobosan dan mulailah mencintai. Demikian ajakan St. Yohanes Chrysostomus. Dan yakinlah bahwa cinta itu dapat menular, maka mulailah dari anda dan tularkan cinta sejati kepada orang-orang disekitar anda.

Mencintai Setiap Orang

Jangan mencintai orang-orang dengan membeda-bedakan mereka, agar cinta Allah bersinar dalam kehidupan kita. “Allah menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik” (bdk. Mat 5:45), kita diundang menjadi matahari-matahari kecil dari matahari cinta Allah, maka dengan demikian setiap orang adalah sasaran cinta kita, untuk itu kita perlu berjumpa dengan mereka.

Kita perlu mendengar kutipan kata-kata ibu theresa “saya tidak pernah merawat semua orang, hanya pribadi-pribadi tertentu, “setiap orang memberi saya kemungkinan untuk mencintai Kristus. Satu saudara itu sudah cukup – ia yang karena kehendak Allah ditempatkan didepan saya – menjadi jalan yang personal saya dengan Yesus sendiri.

Mencintai Musuh

Mencintai musuh merupakan ciri khas cinta kristiani, bentuk cinta yang tidak pernah bisa dipahami tanpa iman. Cinta bentuk ini adalah cinta yang dituntut oleh Yesus jika kita hendak menciptakan perdamaian sejati. “apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu......apabila kamu memberi salam kepada saudara-saudaramu saja...bukankah bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian, tetapi aku berkata kepadamu: “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 46 – 47).

Perintah untuk mencintai musuh oleh Yesus bukanlah kata-kata kosong, tetapi Dia sendiri telah lebih dahulu melakukannya, kita ingat peristiwa ketika Yesus di perlakukan seperti bukan manusia di bukit Golgota, tempat Ia disalibkan. Dengan tenang Ia berdoa bagi mereka yang membenci-Nya. Suatu sikap yang tidak dapat ditangkap oleh rasio, tetapi hanya dapat dipahami dengan iman.

Mencintai dengan Memberikan Hidupmu

Yesus adalah Allah dan cinta Yesus tidak terbatas. Ia mencintai dengan memberikan diri-Nya, utuh. Penginjil Yohanes memberikan kesaksian bahwa Yesus telah mencintai sahabat-sahabat-Nya, sampai memberikan nyawa-Nya dan tidak ada cinta yang lebih besar dari itu (Yoh 15:13). Yesus memberikan segala-galanya, tubuh-Nya sebagai makanan dan darah-Nya sebagai minuman dalam rupa Ekaristi. Maka dengan demikian, sebagai murid kita juga diundang untuk menghayati cinta yang demikian. Siap memberikan hidup kita kepada orang-orang yang bekerja sama dengan kita, siap memberikan hidup kita satu dengan yang lain.

Mencintai dalam Pelayanan

Melayani berarti menjadi pribadi demi kepentingan orang lain (man or women for others) termasuk menyamakan diri kita dengan mereka yang dilayani, merasakan suka–duka mereka, belajar berpikir seperti mereka, merasakan pergulatan hidup mereka dengan hati mereka, menghayati hidup mereka dan berjalan dengan menggunakan sandal mereka. Untuk suatu pelayanan, Yesus dengan sempurna telah memberikan contoh kepada kita “Dia merendah dihadapan para murid dan dengan penuh pelayanan membasuh kaki mereka satu demi satu, dan kata-Nya: “supaya kamu berbuat sama seperti yang telahKu perbuat kepadamu” (Yoh 13:15)

Ibu Theresa mengajarkan dan memberikan contoh pelayanan yang relevan bagi kita di zaman ini. Pelayanan tidak harus besar tetapi perbuatan kecil dengan cinta yang besar. Demikian juga shering pengalaman yang penuh inspiratif bagi kita dari seorang uskup bernama Nguyun Van Thuan saat di penjara dan ketika ia merenungkan panggilan orang Katolik.

Ketika dalam penjara ia bersahabat dengan banyak orang yang mengalami nasib sama sebagai korban ketidakadilan. Ia juga bersahabat dengan para penjaga penjara. Dalam penjara ia membuat salib dan kalung, hal itu bukan untuk mengingatkannya pada penjara, tetapi keduanya menyatakan keyakinan uskup tersebut bahwa cinta kasih kristianilah yang dapat mengubah hati, bukan senjata, ancaman atau media massa. Kasih mengalahkan segala sesuatu. Kasih mempersiapkan jalan bagi injil, jika kasih adalah kasih sejati, maka ia telah menggerakan untuk menanggapi kasih yang lebih besar. Dengan demikian kasih baru yang di ajarkan Yesus sungguh-sungguh terwujud “kasihilah satu sama lain sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12) kasih timbal balik adalah seni mencintai.

Bunda Maria memiliki seni mencintai yang sempurna. Ia seperti bulan yang memantulkan cahaya keindahan matahari yang adalah Yesus, semua perasaannya dan khususnya kasihnya. Di luar Tritunggal Mahakudus, orang katolik tidak dapat menemukan kasih Allah, dan kasih semua umat manusia yang setara dengan kasih bunda Maria.

Seni mencintai adalah mencintai Yesus (Yesus adalah cinta). Seni mencintai adalah mencintai sama seperti bunda Maria dalam mencintai. Maria adalah cinta yang diterima, mengapa demikian? Segala sesuatu berasal dari Allah, datang dari tempat yang tinggi dan bunda Maria telah menyambutnya dengan penyerahan diri, penuh iman dan syukur. Cinta yang dibalas, artinya ia telah menjawab tawaran Allah dengan seluruh keberadaannya “jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). dan Maria adalah cinta yang dibagi, maksudnya: Maria yang menerima anugerah Allah, menyambut dan membaginya kepada Elisabet, saudaranya dan anak yang dikandung Elisabet melonjak kegirangan serta cinta itu telah dibagikannya kepada kita pula. Kita telah memperoleh bagian dari anugerah Maria melalui Gereja secara misterius. Semua yang menerima cinta yang dibagi-bagi itu memperoleh kebahagian dan kegembiraan dalam Tuhan.

SUKACITA

Ada banyak alasan bagi kita ketika berusaha menanamkan sukacita dalam hati kita. Namun hati yang bersukacita dan bergembira adalah hasil wajar dari hati yang terbakar karena cinta ialah benar!. Sukacita adalah doa, kekuatan dan cinta, orang akan memperoleh lebih banyak kepada hati yang rela memberi dengan sukacita. Sukacita tidak dapat disembunyikan, ia memancar dari mata kita dalam pengelihatan, percakapan dan kesenangan kita. Kita tidak kuasa untuk menutup-nutupinya karena ia akan meluap. Sukacita itu menular, maka dari itu, cobalah penuhi diri kita dengan sukacita kemanapun kita akan pergi.

Sukacita harus menjadi salah satu dari proses kehidupan kita, karena itu merupakan bukti kepribadian yang murah hati. Kita yang sampai pada kesadaran ini mempunyai anugerah kehidupan yang tertinggi, seperti matahari bersinar cerah dalam komunitas dan lingkungannya. Maka dalam hal ini, baiklah kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita mempunyai dan mengalami kegembiraan untuk mencintai. Kata ibu Theresa “mencintai sampai sakit dan terluka akan membawa kegembiraan dan sukacita tersendiri bagi yang melakukannya. Oleh karena itu kita terus berdoa memohon kekuatan dan keberanian untuk mencintai. Menurut St. Bonaventura sukacita adalah sesuatu yang telah diberikan kepada manusia sehingga dia dapat bergembira di dalam Allah karena pengharapan akan kebaikan abadi dan semua keuntungan yang dia terima dari Allah, maka kita tahu bagaimana bersuka cita terhadap apapun, karena Allah, tidak pernah puas dengan hal-hal kosong yang sia-sia.

Penjelasan tentang sukacita ini dikutip Rm.Hariyanto. SJ dari renungan Becky Benenate (ed.), In the Heart of the World: hidup untuk Allah. Dan disarinya juga dari pandangan A. De Mello.

KARENA DEUS CARITAS EST: ALLAH ITU KASIH (1 Yoh 4: 7–21)

DAN KITA DI UTUS MENGASIHI DIDALAM SEGALANYA

Pada hari trakhir rettret, Rm. Hariyatno Mengajak sejumlah peserta untuk merenungkan ajakan Paus Benediktus XVI dalam melangkah, meniti dan menghayati panggilan sebagai calon-calon katekis, dalam cinta yang bersumber pada cinta-Nya yang kekal dan abadi. “Cinta” merupakan kesimpulan dari seluruh perjalanan rettret selama 4 hari, katanya.

Pada tanggal 25 Januari 2005 paus Benidiktus XVI menerbitkan ensikliknya yang pertama, berjudul Deus caritas est – Allah adalah cinta. Cintanya yang kekal selalu mengundang, memperkembangkan, dan meneguhkan harapan kita untuk melangkah lebih mantab di hari esok. Cinta Allah itu istimewah yang di lukiskan pada masing-masing nama kita pada telapak tanggan-Nya (bdk. Yes 49:16). Cintanya tetap mengalir walaupun kita gagal, kecewa dan lemah. Karena itu, cinta Allah menjadi sumber harapan yang bernyala dalam hati kita, menyalakan kembali terang yang lebih besar serta daya kekuatan kita yang sering timbul tenggelam.

Hidup dan iman orang kristiani dibangkitkan oleh perjumpaan dengan Allah yang telah berbagi hidup, kalau kita terus melangkah maju Dia selalu hadir, dalam usaha kita Dia turut berjerih payah, dan jika kita mencintai segalanya mengalir dari atas didalam dan melalui Roh-Nya, Allah berkarya agar kita dimasa-masa yang akan datang hidup dalam kebaikan dan kebenaran.

Dengan penuh harap, pada hari trakhir retret, Rm. Hariyatno. SJ sekali lagi mengajak para peserta – orang-orang muda – mahasiswa, membaca dan merenungkan Deus caritas est: Allah itu kasih. Sehingga dengan demikian rettret yang telah berjalan selama 4 hari menghasilkan buah yang berlimpah dalam pelayanan anda semua. (Ditulis oleh FX. Samson)