Kamis, 20 Mei 2010

KAUM MUDA

KAUM MUDA TULANG PUNGGUNG GEREJA

FX. SAMSON

Kaum muda adalah tulang punggung dan harapan di tengah masyarakat dan dalam Gereja. Kaum muda adalah realitas hari ini bukan sekedar harapan untuk hari esok, mereka adalah sumber energi dan vitalitas bagi keberadaan masyarakat dan Gereja dari waktu ke waktu. Kekuatan dan keberadaan mereka yang esensial itu menuntut adanya perhatian khusus dari pihak-pihak pemerhati kaum muda yaitu para orang tua, negara dan Gereja. Seperti yang diungkapkan Dokumen Konsili Vatikan II dalam deklarasi pendidikan kristen Gravissimum Educationis (GE)

Perlu disadari bahwa dalam proses kreatif, jiwa, darah, semangat dan gejolak muda tidak jarang menjebak mereka pada sikap dan tindakan yang kurang tepat, karena gejolak mudanya yang emosional dan sulit diatur, sering kali tidak terkontrol. Namun orang muda butuh pengalaman, dalam usia mudanya ia menggunakan segenap kemampuan dan talentanya yang sedang dicari dan dikembangkan, mereka terus mencoba dan berjuang dengan semangat mudanya. Di sinilah kehebatan sekaligus jebakan yang sangat membahayakan bagi kehidupan mereka selanjutnya. Kaum muda berjiarah bersama jaman, mereka berlari secepat waktu yang terus berlalu, bila tidak demikian mereka akan dikatakan ketinggalan jaman. Mereka masih lemah dan rapuh serta seringkali dikorbankan oleh struktur-struktur penindasan dalam dunia dewasa ini.

Situasi kaum muda hendaknya dipahami dari berbagai realitas kompleks, dan latar belakang kehidupan mereka di tengah dunia dimana mereka hidup. Berbagai bentuk perubahan yang cepat dan drastis dalam segala bidang kehidupan, bidang kebudayaan, politik, sosial ekonomi, serta ledakan media massa, secara radikal berdampak bagi kehidupan kaum muda diseluruh penjuru dunia. Kaum muda dengan segala macam latar belakang, kaya dan miskin, kota dan desa, terpelajar dan bodoh, bekerja atau menganggur, terorganisasi atau tidak terorganisasi, semuanya sedang terombang ambing oleh gelombang kebudayaan kontemporer. Memahami dan menyikapi situasi dan kondisi kaum muda perlu diusahakan penanganan yang ekstra, oleh para orang tua, negara dan Gereja.

Pesoalan sekarang ialah, bagaimana membuat kaum muda mempunyai Roh yang mampu menggiring mereka kepada harapan dan cita-cita para orang tua, masyarakat dan Gereja. Roh tidak dibatasi oleh ruang, dan kaum muda memiliki roh yang sangat kuat dan sanggup menghantam segala rintangan demi tujuannya, cita-citanya dan harapannya. Tugas para orang tua, masyarakat dan Gereja untuk memberi ruang gerak, mendidik, mengarahkan bagi kekuatan roh yang sudah mereka miliki, agar mereka mampu menjadi peribadi-peribadi pembangun yang handal.

Gereja secara khusus telah berusaha dengan segala daya upaya memberikan pendampingan kepada kaum muda dengan berbagai bentuk pendampingan kategorial kaum muda. Secara sederhana dapat dirumuskan tujuan pelayanan pembinaan kaum muda dalam Gereja dengan dua kata “kedewasaan iman” artinya bahwa Kristuslah yang menjadi sumber dan tujuan serta tolak ukur dari kewasaan tersebut.

Hendaknya Roh yang mereka miliki adalah Roh Kristus. Roh Kristus itulah yang menjadi pendorong gerakan kaum muda dalam kaitannya dengan peranan mereka di tengan masyarakat dan dalam Gereja. Di atas telah dikatakan bahwa orang muda berjiarah bersama waktu dan berlari secepat waktu. Memahami situasi ini berarti memahami apa yang harus dilakukan Gerja khususnya dan pendamping/pemerhati kaum muda pada umumnya. Berlari bersama kaum muda bukan berarti mengawasi, mendeteksi atau membatasi gerak langkah kaum muda. Tantangan para orang tua, masyarakat dan Gereja serta pemerhati kaum muda dewasa ini ialah bagaimana memformat pendampingan yang relevan dengan kebutuhan kaum muda sekarang.

Secara konseptual pendampingan perlu diarahkan pada dua aspek yaitu aspek pengembangan iman menuju kedewasaan iman dan aspek pengembangan hidup sosial kaum muda. Pendampingan kaum muda hendaknya mengarahkan mereka untuk melihat dan menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi disekeliling mereka. Kedua aspek tujuan pendampingan kaum muda menyangkut dua dimensi fundamental, yaitu demensi vertikal berkaitan dengan relasi dengan Allah sebagai Bapa dan dimensi horisontal berkaitan dengan relasi terhadap sesama.

Jadi jelas bahwa kedewasaan iman yang diharapkan untuk diarahkan kepada kaum muda bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Allah dalam pelaksanaan kegiataan ibadat seputar altar saja, tetapi menyangkut semua segi kehidupan manusia seutuhnya, yaitu relasi yang harmonis dengan Allah Bapa dalam putra-Nya Yesus Kristus sebagai Roh yang memberi kekuatan dan dinyatakan dalam hidup dengan sesama baik dalam komunitas kecil “keluarga” maupun komunitas dalam masyarakat yang lebih luas.

Berbagai metode dan serategi pembinaan kaum muda adalah usaha untuk menjawab tantangan Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis(GE) bahwa yang bertanggungjawab atas pembinaan dan pendidikan kaum muda ialah para orang tua, negara dan Gereja. Ketiga lembaga ini harusnya bergandeng tangan untuk menjadikan kaum muda sebagai manusia dewasa yang mampu berdiri sendiri dan bertanggung jawab serta berguna bagi sesama dan masyarakat sebagai perwujudan cinta kepada Kristus.

Pertanyaan yang perlu menjadi refleksi sekarang ialah sanggupkah para orang tua, negara dan Gereja menjadikan kaum muda ibarat air? yang mampu memeberikan manfaat, kesejukan, kenikmatan, dan kepuasan saat meneguknya. Bisakah para orang tua masyarakat dan Gereja dapat dilebur bersama uniknya kaum muda sehingga menjadi dinamis dengan karya kritis dan produktif laksana air sungai yang mengalir terus? Ataukah para orang tua, masyarakat dan Gereja akan menjadi bumerang yang akan menelan kreatifitas dan kesanggupan kaum muda dalam mencapai pribadi-pribadi yang mandiri dan matang bagi kehidupan Gereja dewasa ini.

Sesungguhnya Gereja kaum muda yang efektif adalah Gereja kaum muda yang berkontribusi bagi sesamanya, tidak diam! air diam akan menjadi kotor dan menjadi sumber penyakit, lain halnya dengan mengalir. Gereja yang berguna adalah Gereja yang sanggup bersosial dengan sesamanya dan alam sekitarnya. Kehadirannya memberikan kenyamanan dan kenikmatan bagi masyarakat disekitarnya jauh dari prinsip homo homini lupus bahkan dirindukan selalu hadirnya (77X7X).

STKIP WINA Mahasiswa Fakultas Pendidikan Teologi (Guru Agama Katolik)

Di terbitkan pada Majalah BERKAT (Keuskupan Malang)

POLITIK

BERPOLITIK UNTUK MENGUBAH SISTEM DARI DALAM


Apatisme politik tidak boleh diteruskan sebab tidak akan membawa bangsa ini pada perubahan. Perubahan akan tercapai jika umat katolik dengan dijiwai spiritualitas kristiani turut serta dalam kehidupan politik.

Hal itu disampaikan Vikaris Jendral Keuskupan Surabaya, Rm. PC. Edi Laksito, Pr. dalam diskusi bertema, “Apatisme Politik Kaum Muda” usai pelantikan Dewan Pimpinan Cabang PMKRI Cabang Madiun “Sanctus Ambrosius” Periode 2008-2009 di aula kampus STKIP Widya Yuwana Madiun (28/9).

Lebih lanjut mantan moderator PMKRI Surabaya ini mengatakan bahwa apatisme politik seringkali dipraktekkan oleh umat katolik terutama kalangan muda. Padahal menurutnya, umat katolik relatif memahami kondisi sosial kemasyarakatan di negeri ini. Memang, apatisme politik memiliki alasan antara lain, adanya ketidakpercayaan pada organisasi politik sebab kesejahteraan umum yang dijanjikan tidak tercapai, pemilu tidak memberikan keuntungan secara langsung kepada masyarakat pemilih, lembaga politik tidak mengembangkan masyarakat, demokrasi yang berjalan tanpa roh sama sekali, politik dijadikan sebagai arena bisnis (money politics), dan tidak adanya figur pemimpin yang mampu menggetarkan hati. Namun, sikap tersebut kurang tepat sebab hanya keterlibatanlah yang mampu melakukan perubahan.

Di hadapan peserta yang terdiri atas mahasiswa dari organisasi intra dan ekstra kampus, kelompok kategorial Gereja, dan tokoh umat tersebut beliau menegaskan bahwa negara itu perlu dan dikehendaki Tuhan dan tidak ada iman yang menentang negara. Seperti halnya dengan Gereja, negara pun membutuhkan pemimpin yang bertugas untuk membawa masyarakat pada kesejahteraan. Umat katolik perlu melahirkan sikap kritis sebagai langkah awal membuka kesadaran politik. Dengan demikian, umat katolik dapat berperan serta dalam dinamika politik negeri ini dengan membangun rasa cinta tanah air tanpa membedakan golongan. “Bangsa ini milik semua orang Indonesia yang membutuhkan kepedulian dan keterlibatan semua warga tanpa mengenal sekat-sekat perbedaan”, katanya sambil memberi dorongan.

Selain Vikjen Keuskupan Surabaya, turut berbicara pula salah seorang anggota penyatu PMKRI, Drs. Antonius Sudarmanto, MS. Senada dengan Vikjen, Dosen Universitas Widya Mandala Madiun yang menjabat anggota KPUD Kota Madiun tersebut mengatakan bahwa apatisme politik membuat kita tidak memiliki akses terhadap politik. Dengan demikian, jika ada kebijakan politik yang merugikan masyarakat termasuk produk undang-undang yang bernuansa diskriminatif, jangan sekali-sekali mempersalahkan politisi sebelum mempersalahkan diri sendiri yang tidak mau terlibat dalam bidang politik.

Salah satu dari dua anggota KPUD yang beragama katolik di seluruh Jawa Timur itu mengatakan bahwa politik itu baik sehingga tidak perlu dihindari. Kalaupun ada stigma bahwa politik itu kotor, orang katolik harus terpanggil dan terlibat untuk melakukan perubahan sistem dari dalam sehingga politik kembali pada tujuan sebenarnya yaitu untuk kebaikan semua orang. Kalah menang dalam politik bukan hal yang hakiki tetapi setidak-tidaknya kita harus merasa bangga sebab kita sudah menanggapi panggilan untuk menjadi pelayan melalui dinamika politik di negeri ini. “Kita dipanggil untuk berpolitik. Politik memungkinkan orang katolik untuk memberikan pelayanan bagi orang lemah dan tertindas. Kaum muda katolik bisa memulainya dengan belajar melalui organisasi-organisasi seperti PMKRI”, sambungnya.

Sementara itu, Ketua Presidium DPC PMKRI Madiun “Sanctus Ambrosius” Periode 2008-2009, Yohanes Manasye dalam sambutan pelantikannya mengajak kaum muda terutama mahasiswa yang tergabung dalam PMKRI untuk memaknai kembali semboyan misioner Pro Eclesia et Patria yang menurutnya sering kali dipekikkan dengan tanpa kesadaran dan pemaknaan. Menurutnya, apatisme merupakan pengingkaran terhadap misi Gereja di tengah dunia. Sebagai bagian dari Gereja, PMKRI berkewajiban untuk menghadirkan wajah Gereja dalam pergumulan masyarakat. Selain itu, kaderisasi dalam PMKRI harus mampu melahirkan calon-calon pemimpin berintegritas katolik sebagai jawaban atas krisis kader pemimpin di negeri ini. (77X7X)

Mahasiswa dan anggota PMKRI Cabang Madiun, “Sanctus Ambrosius”

Diterbitkan pada Majalah Mingguan Hidup (Jakarta)

EUTANASIA

EUTANASIA

“Tak Cukup Cuma Teriak!

FX.SAMSON


Secara etimologis euthanasia berasal dari kata bahasa Yunani yaitu: eu = baik, thanatos = kematian. Euhanateo = aku menjalani kematian yang layak, dan euthanatos (kata sifat) = mati dengan mudah.

Dalam perkembangan selanjutnya eutanasia mendapat perhatian yang serius dari ajaran sosial Gereja karena adanya pergeseran makna sesungguhnya. Sangat tepat bila tulisan-tulisan Yohanes Paulus dimulai dari pandangan mengenai martabat pribadi manusia yang tidak bisa diganggu-gugat dan ungkapannya untuk menekankan penghargaan akan hak asasi manusia.

Dalam etika kedokteran yang kontrovisial dan hangat didiskusikan, karena hidup yang sudah sangat lemah, berkat perawatan dan pengobatan yang sangat mutakhir makin hari makin berhasil diperpanjang. Usaha mendampingi secara rohani dan manusiawi pasien yang akan meninggal dengan perawatan penuh kasihsayang dan pengobatan yang mengurangi penderitaan (walaupun dapat memperpendek hidup) tidak menjadi soal bagi etika medis. Berdasarkan prinsip dwi-akibat, obat bius boleh digunakan untuk menghilangkan penderitaan yang sangat berat, sekalipun hal ini mengakibatkan hidupnya lebih pendek. Orang yang sakit parah atau walinya juga boleh menolak untuk menempuh perawatan yang luar biasa. Sekalipun penolakan ini mengakibatkan hidup si penderita berakhir lebih cepat. Eutanasia pasif, artinya tidak berbuat sesuatu untuk memperpanjang hidup, diperbolehkan dengan alasan yang wajar, misalnya karena pasien memang sudah pada waktunya dan / atau sudah mau meninggal, karena memperpanjang penderitaan sudah tidak manusiawi lagi atau terlalu mahal. Namun terkadang batas antara eutanasia pasif dan eutanasia aktif atau ‘marcy killing’, ialah tindakan sengaja untuk mempercepat kematian sering kali tidak jelas.

Apapun alasannya tetap saja eutanasia ialah Pengambilan hak hidup/hak asasi yang paling dasar terhadap mereka yang lemah, dan kini mulai membudaya. Dalam budaya ini pihak yang lemah perlahan-lahan makin dikuasi, kita justru mengabaikan hak untuk hidup sebagai hak asasi paling mendasar. Hal ini nampak bahwa masyarakat moden menempatkan kerja dan hasil-hasil kerja sebgai kegemaran mengkonsumsi barang dan gagasan pemenuhan potensi seseorang. Hal ini sudah mempengaruhi keluarga sebagai bangunan yang paling dasar. Celakanya: Keluarga-keluarga ternyata menjalankan peranan utama dalam menentang “budaya kehidupan”. Dengan keras Yohanes Paulus II menentang sikap demikian. Sikap Yohanes Paulus II ini didukung oleh adanya perintah untuk jangan membunuh (perntah Allah ke lima), dalam Matius 5: 21 dikatakan “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum”. Ini memberi arti bahwa tidak seorang pun berhak untuk mengkhiri hidup orang lain dengan cara apapun dan maksud apapun. Kitab Ulangan 32: 39 menjelaskan “Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku” Demikianlah Kitab Suci memberikan jawaban atas tindakan pembunuhan termasuk didalamnya tindakan eutanasia.

Eutanasia sebagai tindakan pelecehan terhadap hak asasi manusia, anatara lain sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara : efisiensi ekonomi, keadilan sosial dan kebebasan individu. Hal ini menjerumuskan manusia pada sikap mementingkan diri sendiri ”siapa sesamaku” Mereka kini mempertimbangkan aspek “milik, tindakan dan pruduksi” sesama. Hak dasar(kriteria) manusia yang mengundang tanggapan, kemurahan dan pelayanan kini diganti dengan kriteria efesiensi, fungsionalisme dan nilai guna. Ini adalah perendahan kepada pihak yang lemah dan tidak berdaya, salah satu akibatnya tidak menutup kemungkinan euthanasia diilegalkan atau terlaksana secara diam-diam bahkan oleh badan yang mempertahankan “budaya hidup”. Meskipun hak asasi manusia selalu dikumandangkan dengan gencar, ironisnya pelecehan terhadap hak hasasi manusia tetap saja terjadi dengan alasan-alasan yang keliru, terutama hak atas hidup. Yang paling menghawatirkan ialah, kejahatan terhadap kehidupan seperti praktek eutanasia juga aborsi semakin diterima bahkan oleh badan yang seharusnya mempertahankan “budaya hudup” dan yang semestinya mendukung hidup dalam keluarga. Akar dari permasalahan itu adalah konsep dan pemahaman modern yang keliru serta kepastian-kepastian kono tentang kemanusiaan, tatanan moral dan relasi manusia dengan Allah telah digantikan dengan ketidakpastian dan skeptisisme. Sesungguhnya “budaya kematian” tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang terisolasi atau muncul karena adanya kesempatan dan alasan kemanusiaan yang merugikan pihak lemah atau si sakit berat, bahkan oleh diri sendiri untuk menghendaki kematian tidaklah dapat dibenarkan. Ajaran sosial Gereja yang mendasarkan ajarannya pada penghargaan tertinggi terhadap hak setiap orang untuk tetap hidup layak serata pencerahan Ilahi. Yohanes Paulus menyatakan dengan tegas (dalam kuasa infabilitasnya)”atas kewibawaan yang oleh Kristus dilimpahkan kepada Petrus dan para penggantinya dan dengan persekutuan para Uskup Gereja Katolik, kami meneguhkan bahwa pembunuhan manusia yang tidak bersalah secara langsung dan sengaja selalu merupakan pelanggaran moral yang berat.

Perlu disadari bahwa Gereja tidak cukup hanya dengan bersuara melalui ajaran moralnya tetapi sikap dan tindakan mesti diupayakan untuk menindaklanjuti pada perbuatan kongrit akan situasi dewasa ini. Sikap kongrit yang dimaksud di sini ialah membantu dan memperhatikan yang sakit dan tak berdaya lalu mendukung adanya eutanasia apalagi hanya karena alasan biaya. Bantuan dapat berupa moril maupun materil. Bila ditinjau secara biblis Injil Matius 25:40 mengatakan “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” . Tugas etika terkait dengan pengambilan keputusan euthanasia yang ditentang terutama oleh Gereja dan mereka yang berkehendak baik ialah menawarkan untuk menentukan pilihan-pilihan yang manusiawi, yaitu martabat hidup pribadi yang tidak bisa ditawar-tawar, sebagai hak asasi manusia/anugrah Tuhan).(77X7X)

STKIP WINA

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teologi (Pendidikan Guru Agama Katolik)

Diterbitkan pada Majalah Mingguan Hidup (Jakarta)

ABORSI

ABORSI KONSILI VATIKAN II

Ada film dokumentasi tentang proses aborsi yang berjudul "The Silent Scream" & "Hard Truth". Film ini sangat-sangat mengerikan, maka bagi siapa saja yang bermaksud melakukan aborsi (pengguguran kandungan) tontonlah film ini. Film ini akan menyadarkan anda betapa kejamnya tindakan aborsi, yang dilakukan terhadap manusia yang tidak berdosa. Sama seperti apa yang telah kita lakukan terhadap Yesus Sang Putera Allah yang tidak berdosa, namun mati demi umat manusia. Tidak cukup sadarkah kita telah melakukan dosa demi kepentingan diri sendiri.
Aborsi sebagai hasil dari tindakan yang tidak bertanggungjawab adalah tindakan yang tidak bermoral, dan itu sama saja dengan membunuh, ironisnya telah membunuh seorang bayi ciptaan Tuhan, sama dan sederajat dengan ciptaan Tuhan lainnya, jika ia yang masih calon bayi sama dan sederajat dengan manusia lainnya berarti ia juga mempunyai hak dasar yang sama yaitu hak untuk hidup layak, dihormati, dilindungi secara absolut sejak saat perubahannya di dalam rahim seorang ibu.
Ilmu pengetahuan menyebutkan, pada saat seperma dan sel telur bertemu, mereka itu menjadi susunan yang lengkap dan sempurna dan kemudian berkembang menjadi manusia dewasa, setiap perubahan yang terjadi hanyalah peroses pematangan, jadi tidak ada yang ditambahkan kecuali disempurnkan.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah berhasil mengajak manusia berpikir instan dan melupakan eksistensi diri sebagai ciptaan yang paling luhur. Kecenderungan mengejar materi seringkali menjadikan orang tua melupakan tugas mendidik, membimbing, menuntun dan mengawasi anak dalam keluarga, akhirnya anak hidup secara tidak terkontrol, adanya pergaulan bebas, hidup tidak mempunyai arah yang jelas, mengkonsumsi obat-obat terlarang dan sebagainya. Apakah kemerosotan moral kaum muda sekarang sepenuhnya adalah kesalahan mereka sendiri, orang tua dan masyarakat dan Gereja harus bersikap tegas untuk hal ini. Kemajuan tegnologi dalam dunia medis telah berhasil membantu para orang tua untuk mengetahui jenis janin dalam rahim sang ibu, dampak negatif kemajuan ilmu tegnoligi ini ialah merangsang orang tua untuk memilih-milih anak, misalnya jika yang diinginkan adalah anak laki-laki lalu ketika yang dinyatakan doter menurut pemeriksaan yang sangat canggih adalah anak perempuan dengan mudah orang tua memutuskan untuk menggugurkan atau mematikan bayi yang dikandungnya, tanpa memikirkan akibat yang terjadi kemudian seperti pendarahan, kangker rahim dan lain-lain yang dapat mematikan sang ibu. Ada banyak alasan melakukan aborsi, karena malu, mungkin buah kandungannya adalah hasil dari hubungan di luar nikah, tekanan batin karena hasil perkosaan, tekanan ekonomi dan lain-lain. Ilmu pengetahuan telah menemukan berbagai cara yang mudah untuk membantu proses aborsi seperti Kuret dengan cara penyedotan, peracunan dengan garam, histerotomi/caesar, pengguguran kimia prostaglandin dan sebagainya.
Tidak ada alasan benar bagi siapapun untuk membenarkan, mendorong dan melakukan tindakan aborsi. Berbagai bangsa terlebih Gereja sangat sepakat untuk menentang tindakan aborsi dan dengan tegas menyatakan hukumannya bagi pelaku aborsi. Namun tidak dipungkiri adanya persoalan pelit berkaitan dengan tindakan aborsi, misalnya jika suatu kondisi yang menurut ilmu kedokteran yang paling canggih, karena suatu akibat maka pilihannya ialah ibu atau anak, jika yang hendak diselamatkan adalah ibu maka anak dalam kandungan harus digugurkan atau dimatikan (maaf), tapi jika yang hendak diselamatkan adalah anak dalam kandungan maka sang ibu harus berkorban atau mengorbankan diri demi keselamatan si anak yang dikandung. Ada lagi kasus lain misalnya gadis usia sekolah hamil kerena pemerkosaan, atau kasus lain lagi gadis hamil karena melakukan hubungan antar saudara sedarah/kerabat keluarga yang sangat dilarang oleh masyarakat dan Gereja. Kasus-kasus semacam inilah yang seringkali digunakan untuk menentang posisi orang kristen dalam hal aborsi. Saya pikir siapapun binggung dengan kasus-kasus semacam ini?.
Konsili Vatikan II masih menyebut bahwa pengguguran adalah suatu “tindakan kejahatan yang durhaka” sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan yang luhur sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat.
Kitab suci memang tidak pernah secara khusus berbicara mengenai aboesi, namun demikian ada banyak ajaran kitab suci yang dapat kita pegang untuk bertindak menentang perbuatan yang tidak manusiawi seperti tindakan aborsi. Yeremia 1:5 memberitahu kita bahwa Allah mengenal kita sebelum Dia membentuk kita dalam kandungan. Mazmur 139:13-16 berbicara mengenai peran aktif Allah dalam menciptakan dan membentuk kita dalam rahim. Keluaran 21:22-25 memberikan hukuman yang sama kepada orang yang mengakibatkan kematian seorang bayi yang masih dalam kandungan dengan orang yang membunuh. Hal ini dengan jelas mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi dalam kandungan sebagai manusia sama seperti orang dewasa. Semakin jelas bagi kita ketika Allah berkehendak terhadap Yohanes, Alkitab mengatakan bahwa Yohanes Pembabtis penuh dengan Roh Kudus ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya. Allah mengenal Yohanes dengan baik dan ia mempunyai rencana khusus bagi kehidupan Yohanes Pembabtis di dunia ini bahkan ketika ia masih berada dalam kandungan. Dari uraian singkat peristiwa Seorang Yohanes Pembabtis, sangat jelaslah bahwa kalau kita menghendaki, melakukan, dan mendorong tindakan aborsi bukankah kita sudah melawan rencana Allah yang sesungguhnya sudah ada sejak seorang bayi masih ada dalam rahim ibunya.
Menyikapi beberapa persoalan di atas, kalau suatu kondisi atau suatu keadaan sudah menimbulkan “keraguan” di hati atau sudah diluar kemampuan manajemen/tegnologi manusia maka tidaklah dipungkiri bahwa campur tangan Tuhan harus ada. Bagi orang beriman kalau kondisi delima yang dialami, yang hanya dapat memilih salah satu dari beberapa kemungkinan yang ada, seperti yang diungkapkan dalam kasus pertama yaitu ibu atau anak, maka jiwa atau roh lebih penting daripada badan/fisik. Saat-saat kerisis di tengah “keraguan”, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semakin sedikit dan waktu yang semakin sempit dan kita biasanya lupa akan adanya kuasa-Nya, yaitu Yoh, 1:10 Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya..….
Teladan para santo dan santa pun dihadapkan akan pilihan-pilihan yang sangat sulit antara menyelamatkan diri atau diselamatkan-Nya, karena ketaatan iman kepada-Nya. Dan apakah setelah suami-istri memutuskan pilihan dengan rela, yaitu menyelamatkan anak dalam kandungan, akankah Tuhan menutup mata terhadap iman mereka berdua, siapa yang mengetahui pikiran-Nya? Dan berarti keputusan itu telah menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Tentang pilihan ibu atau janin yang harus diselamatkan, biasanya kedokteran mempunyai pentimbangan medis tersendiri berdasarkan kondisi keseluruhan pada saat itu. Misalnya jika sang ibu tidak diselamatkan maka sang bayi juga tidak selamat, jika menurut diagnosa kedoktoren sang bayi masih sangat muda untuk dapat bertahan hidup (organ penting belum berfungsi sempurna). Dalam hal seperti ini pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh bahwa mengabaikan keselamatan sang ibu berarti juga mengabaikan keselamatan keduanya. Dan bila melalui operasi sang ibu dan bayi sama-sama memiliki kesempatan yang relatif sama untuk hidup namun harus memilih salah satunya maka sang bayi diutamakan karena sang bayi tidak mempunyai pertahanan apa pun untuk hidup kecuali perhatian serius dan sungguh-sungguh materi dan rohani, sedangkan sang ibu punya. Ketahuilah bahwa tidak ada kejahatan yang melebihi pembunuhan terhadap bayi yang tidak berdosa. Kita diingatkan bahwa kita telah menyalibkan dan membunuh Yesus Putra Allah yang tidak berdosa.
Pada kasus kedua dan ketiga seperti kasus perkosaan dan hubungan sedarah, aborsi bukanlah jalan keluar. Mungkinkah seorang manusia tidak berdosa harus dihukum untuk menanggung perbuatan dosa orang tuanya?. Anak yang lahir sebagai hasil perkosaan atau hubungan seks antar saudara yang masih mempunyai hubungan darah dapat saja diberikan untuk diadopsi oleh keluarga yang tidak mempunyai anak. Akhirnya keputusan dalam kasus aborsi hanya dapat diambil antara suami-isteri, keluarga dan Allah. Sesulit apa pun persoalan yang dihadapi berdoalah dan mintalah hikmat dari Tuhan (Yakobus 1: 5) untuk apa yang Tuhan mau mereka buat.
Menyikapi kemorosatan moral berkaitan dengan tindakkan aborsi maka sangat diharapkan kepada Gereja untuk tidak bosan-bosannya menyuarakan kebenaran yang didasarkan atas penghargaan terhadap hak hidup setiap manusia. Semua usaha kedokteran haruslah diarahkan agar tidak mengorbankan satu pun pihak yang tidak seharusnya dikorbankan baik ibu maupun sang bayi. Inilah salah satu prinsip moral Kristiani. Bukan hanya aborsi yang harus menjadi perhatian Gereja dewasa ini berkaitan dengan kemorosatan moral manusia akibat arus globalisasi yang membawa pengaruh positif sekaligus pengaruh negatif tetapi tindakan kontrasepsi (kontra-sepsi = anti-hidup) yang mengarah pada perlawanan akan rencana Allah bahkan ketika sebelum manusia dibentuk dalam rahim ibunya, Allah telah mengenal manusia dengan segala rencana-Nya. Apa tindakan kongrit yang dapat dilakukan Gereja, misalnya melakukan pembinaan iman atau konseling yang sesuai dengan situasi dan tuntutan jaman dan Gereja bagi keluarga-keluarga. Melakukan pengawasan dan pendekatan secara lebih mendalam kepada kaum muda baik langsung dilakukan Gereja melalui petugas-petugasnya maupun bekerja sama dengan keluarga-keluarga untuk mengarahkan mereka pada sikap dan tindakan yang sesuai dengan nilai luhur manusia sebagai citra Allah. Menyediakan rumah-rumah pembinaan bagi mereka yang sudah terlanjur jatuh (hamil diluar nikah) Dan usaha-usaha lain yang mungkin dapat dilakukan oleh Gereja mengingat kebutuhan yang mendesak ini.
Mau jadi katolik yang benar, kita perlu hidup dengan semua ajaran Gereja jangan asal pilih, seperti pilih sayur di pasar, sebab tindakan manusia adalah moral dan kelanjutan hidup manusia itu sendiri (77X7X).

Oleh Fransiskus Xaverius Samson: Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun
Diterbitkan pada Majalah UTUSAN (Yogyakarta)

Senin, 03 Mei 2010

PEREMPUAN RENDAHAN



“PEREMPUAN RENDAHAN”
Oleh: FX Samson

PEREMPUAN RENDAHAN, apakah anda pernah mendengar kalimat ini – ini bukan soal ukuran badan, tapi soal martabat sebagai manusia secitra? Kata ini sederhana, bukan?? Coba baca hanya tulusan besar dan digaris bawah, sampai dengan koma. Dan bayangkan kata itu ditujuakan kepada kamu (perempuan, dan kepada kamu laki-laki yang punya saudara perempuan atau kepada ibumu yang pasti adalah perempuan). bagaimana perasaanmu setelah kamu selesai membacanya?? Enak, sakit, marah, jengkel, tidak terima atau sejenisnya?.
Saya yakin 100%, kamu – yang berstatus perempuan akan senang kalau ada yang berkata: “ kamu seperti bunga mawar yang merekah, dan wangimu menyebar sampai ke penjuru dunia” atau seseorang berkata: “kamu seperti pelangi, yang tampak indah dalam biasan bintik-bintik air”.
Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahaya yang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yang masih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalah hatimu, mekarkan mawarmu.
Kamu akan seperti apa, itu tergantung dirimu sendiri. Kalau kamu melihat dirimu lemah, maka selamanya kamu akan dipandang lemah, dan tidak akan ada yang berkata: “ kamu seperi bunga mawa yang merekah”. Ada banyak alasan untuk mengatakan mengapa kamu lemah dan tak berdaya. Karena budaya?..karena pola pendidikan dalam keluarga, atau karena idiologi-idiologi lama? Dan kamu berfikir, dengan alasan itu orang lain akan memahamimu. Lalu kalau demikian, mengapa ada orang seperti bunda Theresa?, mengapa ada orang seperi ibu Kartini atau seperti Shamsia Husseini – perempuan yang tidak pernah menyerah oleh kondisi apapun serta tokoh-tokoh lainnya, mereka adalah perempuan tulen, bukan??.
Mulai detik ini, ketika kamu membacanya, Katakan bahwa AKU kuat, AKU berdaya sama seperti mereka!!! Buka, lalu masuklah ke dalam taman mawarmu. Bersihkan rumput-rumput liar di sana, gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yang memakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, dan bertawakkallah serta berjuanglah. Suatu saat, jika kau melakukan ini semua, mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuru dunia. Kami mendukungmu dan Allah menyertaimu.