Rabu, 08 September 2010

KELUARGA MISKIN TAPI BAHAGIA




Temukan Mutiara Kebahagian

dalam keluarga


Oleh. Fx Samson




Di Mana Kebahagian?

Kekayaan identik dengan uang. Uang seringkali dilihat sebagai jaminan untuk memperoleh kebahagian. Apakah benar bahwa orang yang memiliki banyak uang itu bahagia? Bisa ya, bisa tidak. Lewat situs di nternet ditemukan penjelasan mengenai hubungan antara uang dan kebahagian. “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan” ternyata memang benar. Sebuah survei di Australia menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin malah lebih tinggi tingkat kebahagiaannya (http://pembelajar.com). Ada yang menilai penjelasan ini terlalu naif, lucu, dan sulit dipercaya.

Di desa Tempeh Lor, kecamatan Tempeh, Lumanjang didapati seorang ibu yang gelap mata, karena terlilit hutang. Dia mengajak dua putrinya bunuh diri dengan minum racun tikus. Untungnya mereka dapat diselamatkan. Ibu yang berniat membantu perekonomian keluarga dengan meminjam uang ketetangga berakhir dengan tragedi yang menyedihkan. Karena pembayaran pinjaman tersendat-sendat, akhirnya jumlah menumpuk, tidak kuat lagi membayar. Hasil kerja yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Meminjam uang untuk modal usaha adalah cara yang coba ditempun ibu ini agar dapat keluar dari persoalan ekonomi keluarga (Nyata, 11 Ags 2010, edisi 2040).

Harta Bukan Jaminan Tunggal untuk Bisa Bahagia

Dua fakta diatas menunjukan bahwa kaya atau miskin ternyata bukan jaminan untuk memperoleh kebahagian. Ada keluarga kaya yang bahagia dan ada pula keluarga miskin yang tetap bahagia. Keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan memang sering kali menjadi masalah dalam keluarga. Tapi kesulitan ekonomi keluarga tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bahagia. Harta bukan jaminan kebahagian. survei diatas menunjukan kebenaran itu.

Manusia harus menyadari bahwa keadaan miskin dan serba kekuarangan secara materi bukanlah nasib atau takdir yang harus diterima begitu saja. Memang ada orang miskin karena malas, boros atau kurang peluli. Setiap orang wajib bekerja, menghemat, menabung untuk menghadapi keadaan darurat.

Pada dasarnya tidak ada yang mau hidup dalam kemiskinan. Bukankah kemiskinan identik dengan ketidakpunyaan, kesengsaraan dan penderitaan. Namun perubahan sosial yang begitu cepat dan berat sebelah, menimbulkan semakin banyak manusia yang hidup dalam keterbatasan dan kekurangan. Maka, miskin bukan suatu cita-cita. struktur-struktur sosial dalam masyarakat tumbuh secara tidak seimbang. Mereka yang lemah terpaksa kalah dan harus menerima kenyataan pahit yang tidak mampu mereka ubah sendiri.

Merupakan tugas semua umat beriman untuk melawan berbagai bentuk kemiskinan yang merajalela. Struktur-struktur sosial yang tidak adil harus dihapus. Ajaran Sosial Gereja (SAG) yang berupaya menganalis keadaan sosial masyarakat dan telah menghasilkan berbagai teori agar keluar dari penindasan struktural harus direalisasikan dalam bentuk yang nyata di tengah masyarakat.

Jika terpaksa harus menjadi korban dari struktur-struktur sosial yang tidak seimbang, itu harus diterima dengan iklas. Dengan cara ini manusia bisa bahagia. Tapi bukan berarti menyerah dan pasrah. Berjuang untuk memperbaiki tarap hidup yang lebih baik tetap penting. Manusia memang membutuhkan harta benda/milik untuk menjalankan tugas-tugasnya. Tetapi keinginan terhadap kepemilikan tidak boleh menjadi alasan untuk menunaikan tugas-tugas mendasar hidup manusia, yakni menciptakan rasa damai dan bahagia. Keinginan terhadap kepemilikan tidak boleh mengabaikan kebutuhan dasar manusia yang bukan dijamin oleh harta benda itu sendiri. Kepemilikan hanya boleh menjadi sarana untuk mencapai kebutuhan dasar manusia, yakni kebahagian.

Selalu Bersyukur dan Sadari Realitas Ada

Dalam pandangan teologis soal kemiskinan bisa dipahami bahwa Allah yang kaya menjadi miskin untuk membuat manusia kaya. Ia mengosongkan diri untuk menjadi manusia, tidak hanya itu. Allah memilih dengan bebas kehidupan manusia, menandainya dengan kekurangan material. Dengan demikian disadari bahwa kekayaan sejati bukanlah materi sifatnya. Manusia boleh miskin secara materi, tapi manusia tidak boleh miskin secara rohani. Kekayaan yang sejati adalah kekayaan yang berasal dari Tuhan, yakni rahmat untuk selalu “bersyukur”. Rahmat inilah yang membuat manusia menjadi kaya secara tak terbatas, dan rahmat ini pula yang membuat manusia dapat menikmati kebahagian yang sejati. Keluarga miskin berarti keluarga yang kekurangan dalam kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Keluarga dalam situasi semacam ini bukan berarti tidak sanggup menjadi kaya secara rohani. Justru keluarga miskin punya peluang lebih besar menjadi kaya secara rohani. Sebab, Keadaan serba cukup kerapkali menyulitkan manusia untuk menyadari kelemahan mendasar hidupnya dan kebutuhan terhadap penebusan.

Kepada mereka yang tidak mempunyai kekayaan, mereka diajarkan oleh Gereja bahwa di mata Tuhan, kemiskinan bukan suatu aib/kutuk, dan tidak ada sesuatu yang memalukan tentang bekerja keras untuk mencari nafkah. Ini dibuktikan dengan apa yang terjadi dalam Kristus sendiri, yang “oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2 Kor 8:9); dan Ia yang adalah Putera Allah dan Allah sendiri, memilih untuk dilihat dan dianggap sebagai anak tukang kayu. Ia tidak merasa terhina untuk menghabiskan sebagian besar hidup-Nya sebagai tukang kayu. (lih. Mrk 6:3) (Rerum Novarum, 23).

Dengan melihat Teladan Ilahi ini, lebih mudah dimengerti bahwa nilai dan kehormatan sejati manusia terletak pada kualitas moralnya, yaitu di dalam hal kebajikan, yang adalah warisan umum manusia, yang sama terjangkaunya oleh mereka yang tinggi dan rendah, kaya dan miskin. Semua kondisi manusiawi akan diikuti dengan ganjaran kebahagiaan abadi, jika disertai dengan syukur. Tuhan sendiri kelihatan berpihak pada mereka yang menderita kemalangan; sebab Yesus Kristus menyebut mereka yang miskin sebagai yang terberkati/ berbahagia (Mat 5:3); Ia mengundang mereka yang bekerja keras dan berbeban berat untuk datang kepada-Nya untuk memperoleh kelegaan (Mat 11:28) (Rerum Novarum, 24).

Ingat apa yang dikatan Fantasia Barrino, pemenang American Idol 2004 “Aku memang jelek dan Miskin tapi telah aku buktikan bahwa aku ada.” Dan itulah esensi terpenting manusia hidup di dunia: dia ada dalam arti dia bermanfaat bagi dirinya, bagi orang di sekitarnya dan bagi lingkungan yang lebih luas lagi kalau bisa: bagi bangsa dan negaranya.

Pandangan Fantasia Barrino bisa menjadi dasar untuk menemukan kebahagian pada keluarga miskin. Keluarga merupakan anggota masyarakat paling asisi. Melalui keluarga-keluarga kehidupan masyarakat ditentukan. Jika keluarga baik maka masyarakatnya baik. Jika keluarga buruk maka masyarakatnya buruk. Dengan demikian keluarga mempunyai arti penting dalam masyarakat. Dalam arti inilah keluarga dapat menunjukan keberadaan. Menyumbangkan hidupnya bagi masyarakat yang lebih luas. Dan dalam arti ini pula keluarga miskin bisa menemukan kebahagiannya. Keluarga yang berguna bagi masyarakat.

Apa yang diberikan keluarga bagi masyarakat bukan hanya menyangkut materi. Banyak kebutuhan dalam masyarakat, setiap kelurga dapat ambil andil didalamnya. Kebutuhan asisi dalam masyarakat adalah rasa damai dan bahagia. Maka setiap keluarga mempunyai tugas untuk menciptakan rasa damai dan bahagia. Hal ini tentu pertama-tama diciptakan dalam keluarga masing-masing.

Akhirnya mau dikatakan bahwa kebahagiaan sebenarnya hanya ada di dalam mereka yang sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan. Sehingga kemiskinan itu bukan alasan untuk tidak bisa menikmati kebahagiaan. Justru di dalam kemiskinan itu, Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah". Kasih anugerah-Nya yang pasti menjamin keluarga miskin selalu tercukupi dalam segala hal. Karena setiap orang dalam keluarga adalah anak-anak-Nya sendiri yang telah ditebus lunas oleh Tuhan Yesus Kristus (77X7X).



Alamat penulis

Mahasiswa STKIP Wadya Yuwana Madiun

Jln. Soegijopranoto (d/h.Jln. Mayjend. Panjaitan), Tromol Pos 13.

Madiun 63102