Kamis, 21 Oktober 2010

KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELIGIUS

“BERJUANG MELAWAN ARUS ZAMAN”

KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELEGIUS

Keluarga Kristiani

Konsili Vatikan II menamakan keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja rumah tangga). Sebagai Gereja mini, keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya dalam hal ini adalah anak-anak. Bekal iman yang dimaksud yaitu mengenal Gereja dan menghayati nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar untuk membangun Gereja secara universal. Bekal iman bisa diberikan lewat pendidikan oleh keluarga itu sendiri dan oleh lembaga-lembaga yang disediakan untuk membantu tugas itu. Gereja sungguh menyadari keterbatasan pengetahuan orang tua untuk menunaikan tugas yang berat dan mulia itu. Oleh karenanya disediakanlah sekolah-sekolah Katolik untuk membantu tugas orang tua dalam memenuhi tanggung jawabnya.

Pendidikan iman yang dimaksud yakni berusaha menmberikan semua hal yang dibutuhkan anak-anak untuk mencapai kedewasaan pribadi secara kristiani. Orang tua perlu mengajarkan bahwa betapa dalam dan besarnya cinta kasih Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Orang tua membimbing dan membantu mereka untuk menghayatinya, menjadikan nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya.

Inilah panggilan khas keluarga Kristen, mereka menyadari dan mengamalkan panggilan Tuhan. Maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati. (bdk. Ef 1:1-4).

Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai Gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis: ”Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.

Apakkah masih relevan Gereja disebut tubuh Kristus? Selama kebencian masih bersarang di dalam tubuh keluarga, maka Kristus tidak pernah tinggal di dalamnya. Dengan demikian apa yang harus dilakukan oleh keluarga yakni berdoa dan trus berusaha mengembangkan cinta serta mohonlah agar Tuhan tinggal didalamnya, memberkati dan melindungi.

Dewasa ini Banyak keluarga tidak lagi menjadi Gereja mini, tetapi menjadi medan perang dalam Gereja dan dunia. Perceraian antara suami – istri yang marak akhir-akhir ini selalu mengorbankan anak-anak. Mereka harus memilih hidup hanya dengan ayah, atau hanya dengan ibu, atau tidak kedua-duanya. Dengan demikian mereka akan kehilangan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan dan rasakan dari kedua-duanya. Keluarga menjadi tempat tumbuh subur kebencian, iri hati, persaingan, curiga, dll, yang akhirnya menghasilkan keluarga-keluarga yang hancur. Banyak orang dalam keluarga menjadi gelisah, putus asa, tidak berprikemanusiaan, depresi, tidak punya semangat hidup, stress, dll.

Miris rasanya mendengar berita seorang ibu yang tega menggorok leher anaknya yang baru berusia 14 hari dengan pisau dapur. Akibat perbuatan ibu yang demikian, anak yang tidak berdosa harus menjadi korban. Berita serupa dari desa Tempeh Lor, kecamatan Tempeh, Lumanjang didapati seorang ibu yang gelap mata, karena terlilit hutang. Dia mengajak dua putrinya bunuh diri dengan minum racun tikus. Berdasarkan dua berita baru tersebut kita menemukan bukti bahwa keluarga-keluarga telah mengalami krisis cinta. Keluarga tidak lagi menjadi tempat tumbuhnya cinta, tetapi menjadi tempat tumbuhnya kebencian. Keadaan ini memperihatinkan kita semua dan butuh usaha bersama untuk memperbaikinya. Keluarga Kristen juga dipanggil untuk berperan aktif menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Panggilan Hidup Relegius

Semenjak seseorang lahir di dunia. Ia diajak untuk menyemarakkan alam semesta. Dengan demikian, baginya disampaikan panggilan agung, yaitu panggilan hidup sebagai manusia. Artinya, dia diajak untuk memenuhi suatu seruaan agar menjadi manusia sebaik mungkin. Apa yang dimaksud dengan manusia sebaik mungkin? Dalam hidup manusia, ia didorong untuk mengikuti kodrat hati dan budinya. Dalam proses, kodrat lebih kuat mendorong, lama kelamaan hati dan budi semakin terpengaruh. Hati dan budi itulah yang membantunya untuk memahami hidup sebaik mungkin, hidup yang terarah kepada kehendak Allah.

Orang-orang yang telah menerima sakramen permandiaan dikuduskan oleh kelahiran kembali dalam Roh. Ia menjadi tempat kediaman rohani dan tempat suci. Sebagai anggota tubuh setiap orang wajib hidup sebagaimana Putra-Nya, Yesus Kristus. Dengan demikian, permandian yang kita kenal dalam teradi Gereja Katolik merupakan sarana yang membuat seseorang dilahirkan kembali dari roh. Permandiaan adalah dasar semua panggilan di dalam Gereja. Melalui panggilan itu, manusia mendapat tugas dan peran yang berbeda sesuai dengan anugrah Allah. Tuhan memanggil sebagian dari kita untuk mengabdikan diri secara istimewa sebagai imam, biarawati dan anggota Ordo atau Tarekat Religius.

Ada kisah menarik dalam Kitab Suci tentang seorang anak muda yang dipanggil Tuhan, namanya Samuel. Oleh orang tuanya ia dipersembahkan untuk melayani Tuhan di Silo dalam pengawaasan imam Eli. Pada waktu Samuel dipanggil ia belum mengenal Tuhan. Samuel tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, karena itu ia datang kepada imam Eli. Berkat bantuan imam itu, Samuel menjawab panggilan Tuhan dengan mantap. Katanya “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:10). Sejak panggilan itu, Samuel sering menerima firman Tuhan di Silo. Seluruh Israel mengenalnya sebagai nabi, imam dan hakim terakhir Israel.

Sama seperti Samuel, Tuhan pun memanggil semua orang untuk tugas khusus, teruma untuk menyatakan firman-Nya di tengah dunia. Untuk itu yang dibutuhkan ialah peka terhadap panggilan Tuhan dan terbukalah terhadap pertolongan orang lain disekitar kita.

Panggilan religius tidak dipisahkan dari peran keluarga. Keluarga dibutuhkan untuk membantu seseorang mengenal Tuhan dan mengimani-Nya. Setiap keluarga Kristen dipanggil untuk mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah dalam keluarganya. Panggilan di sini memang lebih ditekankan pada suatu panggilan khusus dalam Gereja seperti menjadi imam, biarawan dan biarawati. Justru dalam keluargalah panggilan-panggilan semacam ini tumbuh.

Samuel dilahirkan dari keluarga yang mencintai Tuhan dan mematuhi hukum-hukum-Nya. Dalam Kitab Suci ditunjukkan mengenai ketatan Hana dan Elkana, orang tua kandung nabi Samuel. Ziarah dan kurban tahunan Elkana dan Hana memperlihatkan bahwa mereka layak sebagai orang tua dari anak yang dikasihi Tuhan. Demikian juga yang diharapkan dari keluarga-keluarga kristen. Panggilan khusus sebagai biarawan dan biarawati harus dihormati oleh setiap keluarga. Keluarga kristen seharusnya merindukan dan selalu mendoakan agar panggilan ini ada dalam keluarganya.

Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam amanatnya pada hari doa sedunia untuk panggilan bahwa setiap orang tua hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menyambut secara terbuka rahmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka apabila Tuhan memanggil salah seorang putera/putrinya menjadi imam atau suster. Rahmat semacam ini haruslah selalu dimohon dalam doa dan diterima secara aktif dengan cara memberikan pendidikan yang memungkinkan anak-anak muda itu menangkap kekayaan ini dan dengan gembira mempersembahkan hidupnya untuk Tuhan. Suasana keluarga yang baik akan memungkinkan tumbuhnya benih panggilan. Panggilan tidak akan tumbuh dalam keluarga yang diwarnai oleh konsumerisme, hedonisme dan sekulaisme.

Berjuang Melawan Arus Zaman

Seperti telah dikemukakan pada bagian awal, bahwa keluarga dewasa ini mengalami krisis cinta. Keluarga-keluarga hidup dalam dunia yang mendewakan sek, hedonis dan materialis. Dengan demikian tantangan keluarga sebagai tempat bersemainya tradisi religius semakin berat. Keluarga-keluarga harus mampu bersaing dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti TV, internet dan HP yang berkembang begitu cepat. Hal ini mestinya semakin disadari dan di imbangi, sebab keluarga tidak mungkin lari dari padanya, tetapi keluarga-keluarga bisa mengatasinya dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran iman kristiani.

Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Di tengah dunia dewasa ini yang begitu sekular, pendidikan iman merupakan bekal penting untuk menjaga anak-anak agar tidak terbawa arus kemajuan zaman. Melalui pelayanan pendidikan dan melalui kesaksian pribadi, orang tua bagi anak-anaknya adalah bentara pesan cinta Injil yang pertama. Orang tua berdoa bersama-sama dengan anak-anak, membaca sabda Tuhan dengan mereka, dan memperkenalkan mereka kepada Tubuh Kristus melalui Ekaristi dan Gereja. Dengan cara demikian ini keluarga menciptakan kehidupan yang diwarnai iman dan cinta kasih yang menjadi ciri dari keluarga sebagai Gereja mini. Masing-masing keluarga hendaknya menjadi gereja Kecil tempat Yesus hadir dan kenisah tempat Roh kudus berdiam.

Berenang mengikuti arus ke mana sungai mengalir jauh lebih mudah dari pada harus berenang melawan arus sungai. Berenang mengikuti arus sungai bisa dikerjakan tanpa tenaga dan kerja keras, tetapi berenang melawan arus sungai dibutuhkan usaha keras dan perjuangan terus menerus tampa kenal lelah agar sampai pada tujuan yang dikehendaki. Ini suatu teori yang amat logis.

Tidak berbeda dengan kehidupan keluarga dewasa ini. Perkembangan zaman mengubah wajah dunia. Arus zaman membawa kita pada sikap hidup yang serba instan, membuat kita lebih bebas melakukan apa yang kita mau. Memang menyenangkan, tetapi juga harus dibayar mahal. Beberapa keputusan yang kita buat membawa dampak yang buruk. Biasanya dampak tersebut tidak terjadi seketika itu juga, namun lambat-laun dampak tersebut akan mendatangkan masalah yang serius bagi kita. Butuh perjuangan untuk melawan arus zaman yang berakibat buruk tetapi populer dan semua orang mendambakannya tanpa memikirkan akibatnya. Keluarga kristen dipanggil untuk melawan hal-hal yang membuat banyak orang semakin jauh dari Tuhan dan cinta-Nya. Keluarga kristen dipanggil untuk menumbuhkan benih-benih panggilan relegius dalam keluarga masing-masing.

Memilih hidup sebagai seorang biarawan atau biarawati pada zaman ini berarti memilih hidup yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang. Dewasa ini, hampir semua orang berusaha dan berlomba-lomba memilih kehidupan yang dipandang bisa membuat namanya disebut-sebuat sebagai orang yang hebat dan luar biasa. Apa yang menjadi pandangan umum itulah yang dipilih dan diperjuangkan banyak orang. Banyak orang begitu mendewakan seks, hedonis dan materialis. Berbeda sekali dengan pilihan hidup sebagai biarawan dan biarawati, mereka meninggalkan semuanya demi kerajaan Allah dan pelayanan kepada sesama. Pilihan hidup demikian mengingatkan kita bahwa ada banyak hal yang lebih penting dari hanya sekedar hidup. Hidup itu suatu perjalanan, bukan tujuan (77X7X).