Kamis, 21 Oktober 2010

KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELIGIUS

“BERJUANG MELAWAN ARUS ZAMAN”

KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELEGIUS

Keluarga Kristiani

Konsili Vatikan II menamakan keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja rumah tangga). Sebagai Gereja mini, keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya dalam hal ini adalah anak-anak. Bekal iman yang dimaksud yaitu mengenal Gereja dan menghayati nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar untuk membangun Gereja secara universal. Bekal iman bisa diberikan lewat pendidikan oleh keluarga itu sendiri dan oleh lembaga-lembaga yang disediakan untuk membantu tugas itu. Gereja sungguh menyadari keterbatasan pengetahuan orang tua untuk menunaikan tugas yang berat dan mulia itu. Oleh karenanya disediakanlah sekolah-sekolah Katolik untuk membantu tugas orang tua dalam memenuhi tanggung jawabnya.

Pendidikan iman yang dimaksud yakni berusaha menmberikan semua hal yang dibutuhkan anak-anak untuk mencapai kedewasaan pribadi secara kristiani. Orang tua perlu mengajarkan bahwa betapa dalam dan besarnya cinta kasih Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Orang tua membimbing dan membantu mereka untuk menghayatinya, menjadikan nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya.

Inilah panggilan khas keluarga Kristen, mereka menyadari dan mengamalkan panggilan Tuhan. Maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati. (bdk. Ef 1:1-4).

Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai Gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis: ”Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.

Apakkah masih relevan Gereja disebut tubuh Kristus? Selama kebencian masih bersarang di dalam tubuh keluarga, maka Kristus tidak pernah tinggal di dalamnya. Dengan demikian apa yang harus dilakukan oleh keluarga yakni berdoa dan trus berusaha mengembangkan cinta serta mohonlah agar Tuhan tinggal didalamnya, memberkati dan melindungi.

Dewasa ini Banyak keluarga tidak lagi menjadi Gereja mini, tetapi menjadi medan perang dalam Gereja dan dunia. Perceraian antara suami – istri yang marak akhir-akhir ini selalu mengorbankan anak-anak. Mereka harus memilih hidup hanya dengan ayah, atau hanya dengan ibu, atau tidak kedua-duanya. Dengan demikian mereka akan kehilangan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan dan rasakan dari kedua-duanya. Keluarga menjadi tempat tumbuh subur kebencian, iri hati, persaingan, curiga, dll, yang akhirnya menghasilkan keluarga-keluarga yang hancur. Banyak orang dalam keluarga menjadi gelisah, putus asa, tidak berprikemanusiaan, depresi, tidak punya semangat hidup, stress, dll.

Miris rasanya mendengar berita seorang ibu yang tega menggorok leher anaknya yang baru berusia 14 hari dengan pisau dapur. Akibat perbuatan ibu yang demikian, anak yang tidak berdosa harus menjadi korban. Berita serupa dari desa Tempeh Lor, kecamatan Tempeh, Lumanjang didapati seorang ibu yang gelap mata, karena terlilit hutang. Dia mengajak dua putrinya bunuh diri dengan minum racun tikus. Berdasarkan dua berita baru tersebut kita menemukan bukti bahwa keluarga-keluarga telah mengalami krisis cinta. Keluarga tidak lagi menjadi tempat tumbuhnya cinta, tetapi menjadi tempat tumbuhnya kebencian. Keadaan ini memperihatinkan kita semua dan butuh usaha bersama untuk memperbaikinya. Keluarga Kristen juga dipanggil untuk berperan aktif menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Panggilan Hidup Relegius

Semenjak seseorang lahir di dunia. Ia diajak untuk menyemarakkan alam semesta. Dengan demikian, baginya disampaikan panggilan agung, yaitu panggilan hidup sebagai manusia. Artinya, dia diajak untuk memenuhi suatu seruaan agar menjadi manusia sebaik mungkin. Apa yang dimaksud dengan manusia sebaik mungkin? Dalam hidup manusia, ia didorong untuk mengikuti kodrat hati dan budinya. Dalam proses, kodrat lebih kuat mendorong, lama kelamaan hati dan budi semakin terpengaruh. Hati dan budi itulah yang membantunya untuk memahami hidup sebaik mungkin, hidup yang terarah kepada kehendak Allah.

Orang-orang yang telah menerima sakramen permandiaan dikuduskan oleh kelahiran kembali dalam Roh. Ia menjadi tempat kediaman rohani dan tempat suci. Sebagai anggota tubuh setiap orang wajib hidup sebagaimana Putra-Nya, Yesus Kristus. Dengan demikian, permandian yang kita kenal dalam teradi Gereja Katolik merupakan sarana yang membuat seseorang dilahirkan kembali dari roh. Permandiaan adalah dasar semua panggilan di dalam Gereja. Melalui panggilan itu, manusia mendapat tugas dan peran yang berbeda sesuai dengan anugrah Allah. Tuhan memanggil sebagian dari kita untuk mengabdikan diri secara istimewa sebagai imam, biarawati dan anggota Ordo atau Tarekat Religius.

Ada kisah menarik dalam Kitab Suci tentang seorang anak muda yang dipanggil Tuhan, namanya Samuel. Oleh orang tuanya ia dipersembahkan untuk melayani Tuhan di Silo dalam pengawaasan imam Eli. Pada waktu Samuel dipanggil ia belum mengenal Tuhan. Samuel tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, karena itu ia datang kepada imam Eli. Berkat bantuan imam itu, Samuel menjawab panggilan Tuhan dengan mantap. Katanya “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:10). Sejak panggilan itu, Samuel sering menerima firman Tuhan di Silo. Seluruh Israel mengenalnya sebagai nabi, imam dan hakim terakhir Israel.

Sama seperti Samuel, Tuhan pun memanggil semua orang untuk tugas khusus, teruma untuk menyatakan firman-Nya di tengah dunia. Untuk itu yang dibutuhkan ialah peka terhadap panggilan Tuhan dan terbukalah terhadap pertolongan orang lain disekitar kita.

Panggilan religius tidak dipisahkan dari peran keluarga. Keluarga dibutuhkan untuk membantu seseorang mengenal Tuhan dan mengimani-Nya. Setiap keluarga Kristen dipanggil untuk mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah dalam keluarganya. Panggilan di sini memang lebih ditekankan pada suatu panggilan khusus dalam Gereja seperti menjadi imam, biarawan dan biarawati. Justru dalam keluargalah panggilan-panggilan semacam ini tumbuh.

Samuel dilahirkan dari keluarga yang mencintai Tuhan dan mematuhi hukum-hukum-Nya. Dalam Kitab Suci ditunjukkan mengenai ketatan Hana dan Elkana, orang tua kandung nabi Samuel. Ziarah dan kurban tahunan Elkana dan Hana memperlihatkan bahwa mereka layak sebagai orang tua dari anak yang dikasihi Tuhan. Demikian juga yang diharapkan dari keluarga-keluarga kristen. Panggilan khusus sebagai biarawan dan biarawati harus dihormati oleh setiap keluarga. Keluarga kristen seharusnya merindukan dan selalu mendoakan agar panggilan ini ada dalam keluarganya.

Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam amanatnya pada hari doa sedunia untuk panggilan bahwa setiap orang tua hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menyambut secara terbuka rahmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka apabila Tuhan memanggil salah seorang putera/putrinya menjadi imam atau suster. Rahmat semacam ini haruslah selalu dimohon dalam doa dan diterima secara aktif dengan cara memberikan pendidikan yang memungkinkan anak-anak muda itu menangkap kekayaan ini dan dengan gembira mempersembahkan hidupnya untuk Tuhan. Suasana keluarga yang baik akan memungkinkan tumbuhnya benih panggilan. Panggilan tidak akan tumbuh dalam keluarga yang diwarnai oleh konsumerisme, hedonisme dan sekulaisme.

Berjuang Melawan Arus Zaman

Seperti telah dikemukakan pada bagian awal, bahwa keluarga dewasa ini mengalami krisis cinta. Keluarga-keluarga hidup dalam dunia yang mendewakan sek, hedonis dan materialis. Dengan demikian tantangan keluarga sebagai tempat bersemainya tradisi religius semakin berat. Keluarga-keluarga harus mampu bersaing dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti TV, internet dan HP yang berkembang begitu cepat. Hal ini mestinya semakin disadari dan di imbangi, sebab keluarga tidak mungkin lari dari padanya, tetapi keluarga-keluarga bisa mengatasinya dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran iman kristiani.

Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Di tengah dunia dewasa ini yang begitu sekular, pendidikan iman merupakan bekal penting untuk menjaga anak-anak agar tidak terbawa arus kemajuan zaman. Melalui pelayanan pendidikan dan melalui kesaksian pribadi, orang tua bagi anak-anaknya adalah bentara pesan cinta Injil yang pertama. Orang tua berdoa bersama-sama dengan anak-anak, membaca sabda Tuhan dengan mereka, dan memperkenalkan mereka kepada Tubuh Kristus melalui Ekaristi dan Gereja. Dengan cara demikian ini keluarga menciptakan kehidupan yang diwarnai iman dan cinta kasih yang menjadi ciri dari keluarga sebagai Gereja mini. Masing-masing keluarga hendaknya menjadi gereja Kecil tempat Yesus hadir dan kenisah tempat Roh kudus berdiam.

Berenang mengikuti arus ke mana sungai mengalir jauh lebih mudah dari pada harus berenang melawan arus sungai. Berenang mengikuti arus sungai bisa dikerjakan tanpa tenaga dan kerja keras, tetapi berenang melawan arus sungai dibutuhkan usaha keras dan perjuangan terus menerus tampa kenal lelah agar sampai pada tujuan yang dikehendaki. Ini suatu teori yang amat logis.

Tidak berbeda dengan kehidupan keluarga dewasa ini. Perkembangan zaman mengubah wajah dunia. Arus zaman membawa kita pada sikap hidup yang serba instan, membuat kita lebih bebas melakukan apa yang kita mau. Memang menyenangkan, tetapi juga harus dibayar mahal. Beberapa keputusan yang kita buat membawa dampak yang buruk. Biasanya dampak tersebut tidak terjadi seketika itu juga, namun lambat-laun dampak tersebut akan mendatangkan masalah yang serius bagi kita. Butuh perjuangan untuk melawan arus zaman yang berakibat buruk tetapi populer dan semua orang mendambakannya tanpa memikirkan akibatnya. Keluarga kristen dipanggil untuk melawan hal-hal yang membuat banyak orang semakin jauh dari Tuhan dan cinta-Nya. Keluarga kristen dipanggil untuk menumbuhkan benih-benih panggilan relegius dalam keluarga masing-masing.

Memilih hidup sebagai seorang biarawan atau biarawati pada zaman ini berarti memilih hidup yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang. Dewasa ini, hampir semua orang berusaha dan berlomba-lomba memilih kehidupan yang dipandang bisa membuat namanya disebut-sebuat sebagai orang yang hebat dan luar biasa. Apa yang menjadi pandangan umum itulah yang dipilih dan diperjuangkan banyak orang. Banyak orang begitu mendewakan seks, hedonis dan materialis. Berbeda sekali dengan pilihan hidup sebagai biarawan dan biarawati, mereka meninggalkan semuanya demi kerajaan Allah dan pelayanan kepada sesama. Pilihan hidup demikian mengingatkan kita bahwa ada banyak hal yang lebih penting dari hanya sekedar hidup. Hidup itu suatu perjalanan, bukan tujuan (77X7X).


Rabu, 08 September 2010

KELUARGA MISKIN TAPI BAHAGIA




Temukan Mutiara Kebahagian

dalam keluarga


Oleh. Fx Samson




Di Mana Kebahagian?

Kekayaan identik dengan uang. Uang seringkali dilihat sebagai jaminan untuk memperoleh kebahagian. Apakah benar bahwa orang yang memiliki banyak uang itu bahagia? Bisa ya, bisa tidak. Lewat situs di nternet ditemukan penjelasan mengenai hubungan antara uang dan kebahagian. “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan” ternyata memang benar. Sebuah survei di Australia menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin malah lebih tinggi tingkat kebahagiaannya (http://pembelajar.com). Ada yang menilai penjelasan ini terlalu naif, lucu, dan sulit dipercaya.

Di desa Tempeh Lor, kecamatan Tempeh, Lumanjang didapati seorang ibu yang gelap mata, karena terlilit hutang. Dia mengajak dua putrinya bunuh diri dengan minum racun tikus. Untungnya mereka dapat diselamatkan. Ibu yang berniat membantu perekonomian keluarga dengan meminjam uang ketetangga berakhir dengan tragedi yang menyedihkan. Karena pembayaran pinjaman tersendat-sendat, akhirnya jumlah menumpuk, tidak kuat lagi membayar. Hasil kerja yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Meminjam uang untuk modal usaha adalah cara yang coba ditempun ibu ini agar dapat keluar dari persoalan ekonomi keluarga (Nyata, 11 Ags 2010, edisi 2040).

Harta Bukan Jaminan Tunggal untuk Bisa Bahagia

Dua fakta diatas menunjukan bahwa kaya atau miskin ternyata bukan jaminan untuk memperoleh kebahagian. Ada keluarga kaya yang bahagia dan ada pula keluarga miskin yang tetap bahagia. Keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan memang sering kali menjadi masalah dalam keluarga. Tapi kesulitan ekonomi keluarga tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bahagia. Harta bukan jaminan kebahagian. survei diatas menunjukan kebenaran itu.

Manusia harus menyadari bahwa keadaan miskin dan serba kekuarangan secara materi bukanlah nasib atau takdir yang harus diterima begitu saja. Memang ada orang miskin karena malas, boros atau kurang peluli. Setiap orang wajib bekerja, menghemat, menabung untuk menghadapi keadaan darurat.

Pada dasarnya tidak ada yang mau hidup dalam kemiskinan. Bukankah kemiskinan identik dengan ketidakpunyaan, kesengsaraan dan penderitaan. Namun perubahan sosial yang begitu cepat dan berat sebelah, menimbulkan semakin banyak manusia yang hidup dalam keterbatasan dan kekurangan. Maka, miskin bukan suatu cita-cita. struktur-struktur sosial dalam masyarakat tumbuh secara tidak seimbang. Mereka yang lemah terpaksa kalah dan harus menerima kenyataan pahit yang tidak mampu mereka ubah sendiri.

Merupakan tugas semua umat beriman untuk melawan berbagai bentuk kemiskinan yang merajalela. Struktur-struktur sosial yang tidak adil harus dihapus. Ajaran Sosial Gereja (SAG) yang berupaya menganalis keadaan sosial masyarakat dan telah menghasilkan berbagai teori agar keluar dari penindasan struktural harus direalisasikan dalam bentuk yang nyata di tengah masyarakat.

Jika terpaksa harus menjadi korban dari struktur-struktur sosial yang tidak seimbang, itu harus diterima dengan iklas. Dengan cara ini manusia bisa bahagia. Tapi bukan berarti menyerah dan pasrah. Berjuang untuk memperbaiki tarap hidup yang lebih baik tetap penting. Manusia memang membutuhkan harta benda/milik untuk menjalankan tugas-tugasnya. Tetapi keinginan terhadap kepemilikan tidak boleh menjadi alasan untuk menunaikan tugas-tugas mendasar hidup manusia, yakni menciptakan rasa damai dan bahagia. Keinginan terhadap kepemilikan tidak boleh mengabaikan kebutuhan dasar manusia yang bukan dijamin oleh harta benda itu sendiri. Kepemilikan hanya boleh menjadi sarana untuk mencapai kebutuhan dasar manusia, yakni kebahagian.

Selalu Bersyukur dan Sadari Realitas Ada

Dalam pandangan teologis soal kemiskinan bisa dipahami bahwa Allah yang kaya menjadi miskin untuk membuat manusia kaya. Ia mengosongkan diri untuk menjadi manusia, tidak hanya itu. Allah memilih dengan bebas kehidupan manusia, menandainya dengan kekurangan material. Dengan demikian disadari bahwa kekayaan sejati bukanlah materi sifatnya. Manusia boleh miskin secara materi, tapi manusia tidak boleh miskin secara rohani. Kekayaan yang sejati adalah kekayaan yang berasal dari Tuhan, yakni rahmat untuk selalu “bersyukur”. Rahmat inilah yang membuat manusia menjadi kaya secara tak terbatas, dan rahmat ini pula yang membuat manusia dapat menikmati kebahagian yang sejati. Keluarga miskin berarti keluarga yang kekurangan dalam kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Keluarga dalam situasi semacam ini bukan berarti tidak sanggup menjadi kaya secara rohani. Justru keluarga miskin punya peluang lebih besar menjadi kaya secara rohani. Sebab, Keadaan serba cukup kerapkali menyulitkan manusia untuk menyadari kelemahan mendasar hidupnya dan kebutuhan terhadap penebusan.

Kepada mereka yang tidak mempunyai kekayaan, mereka diajarkan oleh Gereja bahwa di mata Tuhan, kemiskinan bukan suatu aib/kutuk, dan tidak ada sesuatu yang memalukan tentang bekerja keras untuk mencari nafkah. Ini dibuktikan dengan apa yang terjadi dalam Kristus sendiri, yang “oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2 Kor 8:9); dan Ia yang adalah Putera Allah dan Allah sendiri, memilih untuk dilihat dan dianggap sebagai anak tukang kayu. Ia tidak merasa terhina untuk menghabiskan sebagian besar hidup-Nya sebagai tukang kayu. (lih. Mrk 6:3) (Rerum Novarum, 23).

Dengan melihat Teladan Ilahi ini, lebih mudah dimengerti bahwa nilai dan kehormatan sejati manusia terletak pada kualitas moralnya, yaitu di dalam hal kebajikan, yang adalah warisan umum manusia, yang sama terjangkaunya oleh mereka yang tinggi dan rendah, kaya dan miskin. Semua kondisi manusiawi akan diikuti dengan ganjaran kebahagiaan abadi, jika disertai dengan syukur. Tuhan sendiri kelihatan berpihak pada mereka yang menderita kemalangan; sebab Yesus Kristus menyebut mereka yang miskin sebagai yang terberkati/ berbahagia (Mat 5:3); Ia mengundang mereka yang bekerja keras dan berbeban berat untuk datang kepada-Nya untuk memperoleh kelegaan (Mat 11:28) (Rerum Novarum, 24).

Ingat apa yang dikatan Fantasia Barrino, pemenang American Idol 2004 “Aku memang jelek dan Miskin tapi telah aku buktikan bahwa aku ada.” Dan itulah esensi terpenting manusia hidup di dunia: dia ada dalam arti dia bermanfaat bagi dirinya, bagi orang di sekitarnya dan bagi lingkungan yang lebih luas lagi kalau bisa: bagi bangsa dan negaranya.

Pandangan Fantasia Barrino bisa menjadi dasar untuk menemukan kebahagian pada keluarga miskin. Keluarga merupakan anggota masyarakat paling asisi. Melalui keluarga-keluarga kehidupan masyarakat ditentukan. Jika keluarga baik maka masyarakatnya baik. Jika keluarga buruk maka masyarakatnya buruk. Dengan demikian keluarga mempunyai arti penting dalam masyarakat. Dalam arti inilah keluarga dapat menunjukan keberadaan. Menyumbangkan hidupnya bagi masyarakat yang lebih luas. Dan dalam arti ini pula keluarga miskin bisa menemukan kebahagiannya. Keluarga yang berguna bagi masyarakat.

Apa yang diberikan keluarga bagi masyarakat bukan hanya menyangkut materi. Banyak kebutuhan dalam masyarakat, setiap kelurga dapat ambil andil didalamnya. Kebutuhan asisi dalam masyarakat adalah rasa damai dan bahagia. Maka setiap keluarga mempunyai tugas untuk menciptakan rasa damai dan bahagia. Hal ini tentu pertama-tama diciptakan dalam keluarga masing-masing.

Akhirnya mau dikatakan bahwa kebahagiaan sebenarnya hanya ada di dalam mereka yang sungguh-sungguh hidup di dalam Tuhan. Sehingga kemiskinan itu bukan alasan untuk tidak bisa menikmati kebahagiaan. Justru di dalam kemiskinan itu, Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah". Kasih anugerah-Nya yang pasti menjamin keluarga miskin selalu tercukupi dalam segala hal. Karena setiap orang dalam keluarga adalah anak-anak-Nya sendiri yang telah ditebus lunas oleh Tuhan Yesus Kristus (77X7X).



Alamat penulis

Mahasiswa STKIP Wadya Yuwana Madiun

Jln. Soegijopranoto (d/h.Jln. Mayjend. Panjaitan), Tromol Pos 13.

Madiun 63102

Minggu, 22 Agustus 2010

KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELEGIUS

“BERJUANG MELAWAN ARUS ZAMAN”
KELUARGA KATOLIK DAN PANGGILAN HIDUP RELEGIUS

Keluarga Kristiani
Konsili Vatikan II menamakan keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja rumah tangga). Sebagai Gereja mini, keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya dalam hal ini adalah anak-anak. Bekal iman yang dimaksud yaitu mengenal Gereja dan menghayati nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar untuk membangun Gereja secara universal. Bekal iman bisa diberikan lewat pendidikan oleh keluarga itu sendiri dan oleh lembaga-lembaga yang disediakan untuk membantu tugas itu. Gereja sungguh menyadari keterbatasan pengetahuan orang tua untuk menunaikan tugas yang berat dan mulia itu. Oleh karenanya disediakanlah sekolah-sekolah Katolik untuk membantu tugas orang tua dalam memenuhi tanggung jawabnya.
Pendidikan iman yang dimaksud yakni berusaha menmberikan semua hal yang dibutuhkan anak-anak untuk mencapai kedewasaan pribadi secara kristiani. Orang tua perlu mengajarkan bahwa betapa dalam dan besarnya cinta kasih Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Orang tua membimbing dan membantu mereka untuk menghayatinya, menjadikan nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya.
Inilah panggilan khas keluarga Kristen, mereka menyadari dan mengamalkan panggilan Tuhan. Maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati. (bdk.Ef 1:1-4).
Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai Gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis: ”Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.
Apakkah masih relevan Gereja disebut tubuh Kristus? Selama kebencian masih bersarang di dalam tubuh keluarga, maka Kristus tidak pernah tinggal di dalamnya. Dengan demikian apa yang harus dilakukan oleh keluarga yakni berdoa dan trus berusaha mengembangkan cinta serta mohonlah kepada Tuhan untuk tinggal didalamnya, memberkati dan melindungi.
Dewasa ini Banyak keluarga tidak lagi menjadi Gereja mini, tetapi menjadi medan perang dalam Gereja dan dunia. Perceraian antara suami – istri yang marak akhir-akhir ini selalu mengorbankan anak-anak. Mereka harus memilih hidup hanya dengan ayah, atau hanya dengan ibu, atau tidak kedua-duanya. Dengan demikian mereka akan kehilangan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan dan rasakan dari kedua-duanya. Keluarga menjadi tempat tumbuh subur kebencian, iri hati, persaingan, curiga, dll, yang akhirnya menghasilkan keluarga-keluarga yang hancur. Banyak orang dalam keluarga menjadi gelisah, putus asa, tidak berprikemanusiaan, depresi, tidak punya semangat hidup, stress, dll.
Miris rasanya mendengar berita seorang ibu yang tega menggorok leher anaknya yang baru berusia 14 hari dengan pisau dapur. Akibat perbuatan ibu yang demikian, anak yang tidak berdosa harus menjadi korban. Berita serupa dari desa Tempeh Lor, kecamatan Tempeh, Lumanjang didapati seorang ibu yang gelap mata, karena terlilit hutang. Dia mengajak dua putrinya bunuh diri dengan minum racun tikus. Berdasarkan dua berita baru tersebut kita menemukan bukti bahwa keluarga-keluarga telah mengalami krisis cinta. Keluarga tidak lagi menjadi tempat tumbuhnya cinta, tetapi menjadi tempat tumbuhnya kebencian. Keadaan ini memperihatinkan kita semua dan butuh usaha bersama untuk memperbaikinya. Keluarga Kristen juga dipanggil untuk berperan aktif menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Panggilan Hidup Relegius
Semenjak seseorang lahir di dunia. Ia diajak untuk menyemarakkan alam semesta. Dengan demikian, baginya disampaikan panggilan agung, yaitu panggilan hidup sebagai manusia. Artinya, dia diajak untuk memenuhi suatu seruaan agar menjadi manusia sebaik mungkin. Apa yang dimaksud dengan manusia sebaik mungkin? Dalam hidup manusia, ia didorong untuk mengikuti kodrat hati dan budinya. Dalam proses, kodrat lebih kuat mendorong, lama kelamaan hati dan budi semakin terpengaruh. Hati dan budi itulah yang membantunya untuk memahami hidup sebaik mungkin, hidup yang terarah kepada kehendak Allah.
Orang-orang yang telah menerima sakramen permandiaan dikuduskan oleh kelahiran kembali dalam Roh. Ia menjadi tempat kediaman rohani dan tempat suci. Sebagai anggota tubuh setiap orang wajib hidup sebagaimana Putra-Nya, Yesus Kristus. Dengan demikian, permandian yang kita kenal dalam teradi Gereja Katolik merupakan sarana yang membuat seseorang dilahirkan kembali dari roh. Permandiaan adalah dasar semua panggilan di dalam Gereja. Melalui panggilan itu, manusia mendapat tugas dan peran yang berbeda sesuai dengan anugrah Allah. Tuhan memanggil sebagian dari kita untuk mengabdikan diri secara istimewa sebagai imam, biarawati dan anggota Ordo atau Tarekat Religius.
Ada kisah menarik dalam Kitab Suci tentang seorang anak muda yang dipanggil Tuhan, namanya Samuel. Oleh orang tuanya ia dipersembahkan untuk melayani Tuhan di Silo dalam pengawaasan imam Eli. Pada waktu Samuel dipanggil ia belum mengenal Tuhan. Samuel tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, karena itu ia datang kepada imam Eli. Berkat bantuan imam itu, Samuel menjawab panggilan Tuhan dengan mantap. Katanya “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1Sam 3:10). Sejak panggilan itu, Samuel sering menerima firman Tuhan di Silo. Seluruh Israel mengenalnya sebagai nabi, imam dan hakim terakhir Israel.
Sama seperti Samuel, Tuhan pun memanggil semua orang untuk tugas khusus, teruma untuk menyatakan firman-Nya di tengah dunia. Untuk itu yang dibutuhkan ialah peka terhadap panggilan Tuhan dan terbukalah terhadap pertolongan orang lain disekitar kita.
Panggilan religius tidak dipisahkan dari peran keluarga. Keluarga dibutuhkan untuk membantu seseorang mengenal Tuhan dan mengimani-Nya. Setiap keluarga Kristen dipanggil untuk mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah dalam keluarganya. Panggilan di sini memang lebih ditekankan pada suatu panggilan khusus dalam Gereja seperti menjadi imam, biarawan dan biarawati. Justru dalam keluargalah panggilan-panggilan semacam ini tumbuh.
Samuel dilahirkan dari keluarga yang mencintai Tuhan dan mematuhi hukum-hukum-Nya. Dalam Kitab Suci ditunjukkan mengenai ketatan Hana dan Elkana, orang tua kandung nabi Samuel. Ziarah dan kurban tahunan Elkana dan Hana memperlihatkan bahwa mereka layak sebagai orang tua dari anak yang dikasihi Tuhan. Demikian juga yang diharapkan dari keluarga-keluarga kristen. Panggilan khusus sebagai biarawan dan biarawati harus dihormati oleh setiap keluarga. Keluarga kristen seharusnya merindukan dan selalu mendoakan agar panggilan ini ada dalam keluarganya.
Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam amanatnya pada hari doa sedunia untuk panggilan bahwa setiap orang tua hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menanggapi secara terbuka rahmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka apabila Tuhan memanggil salah seorang putera/putrinya menjadi imam atau suster. Rahmat semacam ini haruslah selalu dimohon dalam doa dan diterima secara aktif dengan cara memberikan pendidikan yang memungkinkan bagi anak-anak, terutama anak muda. Hendaknya mereka selalu mendukung anak-anaknya yang membuka diri terhadap panggilan hidup relegius. Jangan sekali-sekali menghalangi mereka. Suasana keluarga yang baik akan memungkinkan tumbuhnya benih panggilan. Panggilan tidak akan tumbuh dalam keluarga yang diwarnai oleh konsumerisme, hedonisme dan sekulaisme.
Berjuang Melawan Arus Zaman
Seperti telah dikemukakan pada bagian awal, bahwa keluarga dewasa ini mengalami krisis cinta. Keluarga-keluarga hidup dalam dunia yang mendewakan sek, hedonis dan materialis. Dengan demikian tantangan keluarga sebagai tempat bersemainya tradisi religius semakin berat. Keluarga-keluarga harus mampu bersaing dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti TV, internet dan HP yang berkembang begitu cepat. Hal ini mestinya semakin disadari dan di imbangi, sebab keluarga tidak mungkin lari dari padanya, tetapi keluarga-keluarga bisa mengatasinya dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran iman kristiani.
Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Di tengah dunia dewasa ini yang begitu sekular, pendidikan iman merupakan bekal penting untuk menjaga anak-anak agar tidak terbawa arus kemajuan zaman. Melalui pelayanan pendidikan dan melalui kesaksian pribadi, orang tua bagi anak-anaknya adalah bentara pesan cinta Injil yang pertama. Orang tua berdoa bersama-sama dengan anak-anak, membaca sabda Tuhan dengan mereka, dan memperkenalkan mereka kepada Tubuh Kristus melalui Ekaristi dan Gereja. Dengan cara demikian ini keluarga menciptakan kehidupan yang diwarnai iman dan cinta kasih yang menjadi ciri dari keluarga sebagai Gereja mini. Masing-masing keluarga hendaknya menjadi gereja Kecil tempat Yesus hadir dan kenisah tempat Roh kudus berdiam.
Berenang mengikuti arus ke mana sungai mengalir jauh lebih mudah dari pada harus berenang melawan arus sungai. Berenang mengikuti arus sungai bisa dikerjakan tanpa tenaga dan kerja keras, tetapi berenang melawan arus sungai dibutuhkan usaha keras dan perjuangan terus menerus tampa kenal lelah agar sampai pada tujuan yang dikehendaki. Ini suatu teori yang amat logis.
Tidak berbeda dengan kehidupan keluarga dewasa ini. Perkembangan zaman mengubah wajah dunia. Arus zaman membawa kita pada sikap hidup yang serba instan, membuat kita lebih bebas melakukan apa yang kita mau. Memang menyenangkan, tetapi juga harus dibayar mahal. Beberapa keputusan yang kita buat membawa dampak yang buruk. Biasanya dampak tersebut tidak terjadi seketika itu juga, namun lambat-laun dampak tersebut akan mendatangkan masalah yang serius bagi kita. Butuh perjuangan untuk melawan arus zaman yang berakibat buruk tetapi populer dan semua orang mendambakannya tanpa memikirkan akibatnya. Keluarga kristen dipanggil untuk melawan hal-hal yang membuat banyak orang semakin jauh dari Tuhan dan cinta-Nya. Keluarga kristen dipanggil untuk menumbuhkan benih-benih panggilan relegius dalam keluarga masing-masing.
Memilih hidup sebagai seorang biarawan atau biarawati pada zaman ini berarti memilih hidup yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang. Dewasa ini, hampir semua orang berusaha dan berlomba-lomba memilih kehidupan yang dipandang bisa membuat namanya disebut-sebuat sebagai orang yang hebat dan luar biasa. Apa yang menjadi pandangan umum itulah yang dipilih dan diperjuangkan banyak orang. Banyak orang begitu mendewakan seks, hedonis dan materialis. Berbeda sekali dengan pilihan hidup sebagai biarawan dan biarawati, mereka meninggalkan semuanya demi kerajaan Allah dan pelayanan kepada sesama. Pilihan hidup demikian mengingatkan kita bahwa ada banyak hal yang lebih penting dari hanya sekedar hidup. Hidup itu suatu perjalanan, bukan tujuan (77X7X).